Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Revisi Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mengalami perkembangan yang mengkhawatirkan dalam penambahan muatan-muatan pasal usulan perubahannya. Sebab itu, DPR diminta untuk menunda revisi UU TNI.
Menurut peneliti hak asasi manusia dan sektor keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie, dari semula hanya dua pasal, yakni Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan, bertambah dengan Pasal 39 mengenai larangan bagi prajurit TNI aktif berbisnis.
Usulan itu disampaikan melalui surat Panglima TNI Jenderal Agus Subianto kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto yang mengusulkan terdapat pasal lainnya masuk dalam Revisi UU TNI sebagaimana disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan UU TNI yang diselenggarakan Kemenkopolhukam, Jumat (12/7/2024) lalu.
“Sorotan utama terdapat dalam usulan perubahan pada dua pasal, yakni Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI aktif dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini. Usulan perubahan pada dua pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita reformasi yang selama ini terus dirawat,” kata Ikhsan Yosarie dalam rilisnya, Ahad (14/7/2024).
Usulan perubahan pada pasal-pasal tersebut, kata Ikhsan, juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas yang diwujudkan melalui usulan perubahan lainnya mengenai perincian ruang lingkup dan definisi ketentuan Operasi Militer untuk Perang dalam Pasal 7.
Setara Institute, kata Ikhsan, kemudian memberikan sejumlah catatan atas muatan-muatan usulan perubahan dalam revisi UU TNI, sebagai berikut.
Pertama, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI aktif dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara. “Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi. Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersial bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara,” jelasnya.
Kedua, argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan. “Keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut dan/atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando. Hal itu berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI seperti dalam Pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan TNI dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis. Oleh karena itu, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, misalnya dalam penjelasan pasal tersebut, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI,” papar Ikhsan.
Ketiga, penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) meruntuhkan pembatasan Kementerian/Lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.
“Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada K/L lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden. Selain itu, tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk K/L lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara, mengingat tidak terdapat diksi ‘…berkaitan dengan pertahanan negara’ dalam ketentuan tersebut,” terangnya.
Keempat, berkaitan dengan usulan perubahan Pasal 47 tersebut, naskah akademik yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi
“Dalam naskah akademik disebutkan bahwa penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 ayat (2) UU TNI saja. Sebab terdapat perkembangkan kebutuhan SDM (sumber daya manusia) pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya, ” cetus Ikhsan.
Kelima, meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.
“Dampak jangka panjangnya menimbulkan utang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam pemilihan umum,” tukasnya.
Berkenaan dengan catatan-catatan tersebut, lanjut Ikhsan, Setara Institute mendorong agar DPR menunda pembahasan revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil.
“Dalam pandangan kami, kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara,” tandasnya.