Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum

Sarjana Hukum disingkat sebagai “SH”, gelar ini diberikan bagi mereka yang belajar tentang dua hal, yaitu: Pemahaman Hukum dan Pemahaman Semangat Hukum. Tujuan dari dua hal tersebut tidak lain adalah menuju satu cita-cita dalam kehidupan bernegara yaitu tegaknya keadilan, keadilan yang sesuai dengan tujuan negara.
Akan tetapi, akibatnya banyaknya sarjana hukum yang melenceng dari tujuan tersebut, baik pengacara, polisi, jaksa dan hakim sehingga mereka yang berkecimpung tidak mengenal lagi integritas sebagai penegak hukum dan keadilan. Maka, “SH” dalam istilah Belanda kerap diartikan sebagai Anjing Bodoh “STOMME HOND”.
Kata tersebut adalah cercaan bagi mereka yang memiliki gelar sarjana hukum yang tak memiliki integirtas dalam penegakan hukum, mereka akan lakukan akal-akalan dalam penegakan hukum.
Tak hanya pengacara, polisi, jaksa dan hakim. Para akademisi dan guru besar hukum, yang diharapkan dapat menjadi pemikir tentang pemahaman hukum dan perbaikan penegakan hukum, kerap kali menggunakan nama besarnya untuk melakukan manipulasi hukum.
Cara menguasai hukum harus dilihat dari dua arah, PERTAMA memahami hukum, KEDUA memahami semangat hukum.
Tujuan pemahaman hukum pada dasarnya untuk melahirkan ketaatan pada hukum, selain itu dapat membantu penegakan hukum dengan baik. Sehingga, banyak sarjana hukum yang memahami secara literal pasal demi pasal yang ada didalam undag-undang.
Dampak buruknya bila hanya dilandaskan pada pemahaman hukum semata adalah bahwa kerap kali sarjana hukum baik pengacara, jaksa, hakim dan guru besar hukum yang memanfaatkan banyaknya kelemahan dari hukum, seperti bahasa yang abtrak, kekosongan hukum terhadap tafsir atas bahasa yang abstrak, kepemilikan hak subjektif, sehingg penegak hukum terjebak menjadi lebih buas dari anjing K9 yang notabene dijadikan sebagai unit satuan polisi dalam membongkar kasus.
Sedangkan semangat hukum adalah pengetahuan tentang hukum yang lebih luas, kenapa hukum dibuat, apa tujuan hukum, apa tujuan pemidaan, kenapa dalam melakukan pemidanaan bahwa agen terlarang untuk melanggar hukum.
Pemahaman tentang semangat hukum akan melahirkan kejujuran tentang penegakan hukum yang sesuai dangan tujuan negara. Sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap proses sebagai jantungnya hukum tidak akan terjadi, minimal angka pelanggaran dalam penegakan hukum menurun.
Jantungnya hukum adalah ketaatan terhadap proses-proses penegakan hukum, hal ini berkaitan dengan hukum acara dan peraturan kapolri tentang manajemen penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula aturan teknis yang ada pada kejaksaan dan kehakiman.
Walaupun para pemikir hukum terdahulu seperti Immanuel Kant, Jeremy Bentham, John Austin, Johann Anselm von Feurbach, Hegel, Fitche berbicara tentang konsep besar tentang hukum dan berbeda, akan tetapi mereka tetap memiliki kesepakatan bahwa pelanggaran terhadap prosedural adalah kejahatan dalam bernegara.
John Austin mengatakan ketika suatu hukum positif dibuat, maka hukum tersebut harus memiliki kemanfaatan secara luas (hukum konperhensif atau hukum Tuhan), didalam hukum tersebut terkandung tiga hal yaitu; tugas (duty), perintah (command) dan hukuman (sunction).
Demikian juga J. Anselem von Feuerbach, pada tahun 1832 dalam risalah hukum kesebelasnya Feuerbach memasukkan pelanggaran terhadap prosedural teknis adalah kejahatan, ia merubah makna kejahatan yang pertama kali disebutkan yaitu pada tahun 1801 dan perubahan kedua pada tahun 1805.
Hal ini ia sadari mengingat, pentingnya ketaatan terhadap hukum itu sendiri, ia mengatakan bahwa pelanggaran terhadap prosedur adalah pembangkaan terhadap negara.
Sedangkan Immanuel Kant dengan menyebut subjektivitas hukum bahwa dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum harus melepaskan ideologi politik dan ideologi teologis sehingga hukum menjadi murni.
Bila dipahami seluruh pemikiran hukum yang disampaikan oleh para pemikir-pemikir hukum tersebut walaupun memiliki perbedaan, akan tetapi memiliki persamaan tentang jantungnya hukum yaitu ketaatan terhadap aturan-aturan hukum teknis.
Namun sangat disayangkan bahwa penegakan hukum di Indonesia menganggap bahwa pelanggaran teknis dianggap tidak terlalu penting, hanya diatur dalam tataran etika profesi.
Banyak contoh kasus Ketika suatu penyidikan dimana penyidik melakukan penyidikan tanpa adanya perintah, lebih dari itu bahwa penyidik melakukan kejahatan seperti mengambil harta penyidik dan tak dikembalikan seperti dalam kasus Pegi Setiawan.
Konyolnya bahwa hal-hal tersebut hanya dianggap sebagai pelanggaran etik dan diberikan sanski etik. Padahal itu adalah kriminal dimana hukumannya harus lebih besar dari pelaku kejahatan yang sama yang dilakukan orang umum.