Oleh : DR. Ateng Kusnandar Adisaputra
ALKISAH, pada zaman dulu ada seorang ibu yang sedang mengandung anak kembar laki-laki. Tidak ada tanda-tanda kelainan dalam masa kehamilan ibu tersebut hingga mendekati bulannya untuk melahirkan. Namun, memasuki hari ke-10 pada bulan yang kesembilan tidak ada tanda-tanda akan melahirkan. Si ibu pun bersabar mungkin karena kembar dan laki-laki lagi. Dia pun bekerja seperti biasanya berdagang kelontong di pasar.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, serta tahun berganti tahun, si ibu itu belum juga melahirkan, sementara perut sudah semakin membesar dan makanan yang masuk pun semakin banyak. Hingga memasuki tahun keempat puluh kehamilannya, para pemuka adat dan tabib berencana mengeluarkan bayi dewasa yang ada dalam kandungan ibu tersebut. Hal ini dilakukan mengingat kondisi ibu yang sudah semakin lelah dan bertambah tua. Operasi mengeluarkan sang bayi pun direncakan dengan melibatkan tabib-tabib senior yang ada di negeri tersebut.
Syukurlah, operasi kandungan ini berjalan lancar. Ketika kandungan dibuka tampak dua orang manusia yang sudah berjanggut dan berkumis, dengan ibu jari yang saling menunjuk rekannya. Karena sudah empat puluh tahun, jadi mereka sudah cukup dewasa dan tabib yang mengoperasi bertanya, mengapa mereka tidak keluar-keluar (lahir) dari kandungan sejak usia 9 bulan 10 hari. Mereka menjawab sambil menunjuk rekannya, “Kami saling mempersilakan, saya meminta supaya dia terlebih dahulu keluar, dia pun demikian selalu mempersilakan saya untuk keluar duluan, terus saja demikian hingga Anda para tabib membuka pintu kandungan ini”. (kisah diambil dari buku “Setengah Isi Setengah Kosong”, Parlindungan Marpaung, 2005).
Dari isi cerita tersebut, bisa diidentikan dengan budaya ewuh pakewuh atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) adalah minder, rendah diri, atau secara bebas berarti sungkan.
Budaya ewuh pakewuh merupakan cerminan budaya Indonesia yang sangat menghargai orang lain, rekan kerja, atau atasan, dan tanpa bermaksud untuk menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain, rekan kerja, dan/atau atasan itu sendiri. Budaya ewuh pakewuh ini bisa terjadi di dunia bisnis, juga bisa terjadi di pemerintahan.
Budaya ewuh pakewuh ini masih terjadi disebabkan masih kuatnya budaya patron-klien antara bawahan dan atasannya. Dengan berorientasi kepada kekuasaan, maka budaya patron-klien dapat timbul karena saling ketergantungan antara atasan (patron) dan bawahan (klien), bisa juga karena kedekatan dan kekerabatan. Salah satu wujud dari budaya ewuh pakewuh, kita mengenal ABS (Asal Bapak Senang). Misalnya, apapun keinginan dari pimpinan biasanya oleh bawahan langsung dipenuhi, yang penting pimpinan senang, sekalipun mungkin keinginan itu bertentangan dengan peraturan.
Menurut Harry (2013), budaya birokrasi ewuh pakewuh, yaitu pola sikap sopan santun dilingkungan birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat selaku bawahan yang segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan hubungan baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukan sosialnya.
Perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, apabila porsi budaya ewuh pakewuh berlebihan akan mempengaruhi terhadap jalannya roda organisasi, akan terjadi ketidak harmonisan, akan ada pelanggaran disiplin terhadap aturan dan etika.
Budaya Kerja Egaliter
Budaya kerja yang ewuh pakewuh dengan didasari kesalahan pola pikir (mind set) yang menganggap unsur pimpinan seperti dewa atau raja hanya akan menimbulkan beberapa sikap yang negatif, seperti ketakutan untuk bertindak, ketakutan untuk menyampaikan pemikiran yang konstruktif, dan perbuatan lainnya.
Untuk itu, budaya kerja ewuh pakewuh ini harus sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan budaya kerja egaliter. Budaya kerja egaliter dibangun atas dasar hubungan (engagement) dengan siapapun, baik itu antara anak buah dengan pimpinan dan unsur pimpinan, dengan unsur pimpinan lainnya bukan didasarkan pada jabatan. Budaya kerja egaliter lebih kepada kolega kerja yang sifatnya saling mendukung.
Budaya Indonesia juga mengajarkan agar pimpinan menerapkan konsep egaliter (persamaan derajat), agar terjalin komunikasi yang baik dan harmonis, serta menghilangkan “jarak” antara pimpinan dan bawahan, karena berbeda strata jabatan.
Salah satu implementasi dari budaya kerja egaliter yaitu dengan menghilangkan kebiasaan memanggil nama jabatan, kalau di pemerintahan seperti : Bapak/Ibu Sekretaris Jenderal, Bapak/Ibu Direktur Jenderal, Bapak/Ibu Inspektur Jenderal, Bapak/Ibu Direktur, Bapak/Ibu Kepala Dinas, Bapak/Ibu Kepala Badan, Bapak/Ibu Sekretaris Dewan, Bapak/Ibu Kepala Bidang, Bapak/Ibu Kepala Bagian, dan sebutan jabatan lainnya, penyebutannya menjadi langsung memanggil nama orang yang memangku jabatan tersebut, seperti : Pa Agus, Pa Adi, Pa Ateng, Pa Andi, dan sebagainya.
Budaya kerja egaliter sudah dicontohkan oleh beberapa orang menteri, kepala daerah di Indonesia, yakni supaya lebih akrab dan familier dalam berkomunikasi, untuk memanggil orang nomor 1 di kementerian, di provinsi atau di kabupaten/kota, cukup dengan memanggil Mas Menteri….., Bang….., Kang……..
Dengan menerapkan budaya kerja egaliter, pimpinan bisa berkomunikasi secara lebih terbuka bersama bawahan, serta bisa mencairkan suasana yang kondusif, sehingga memudahkan untuk saling bertukar pikiran, memecahkan berbagai masalah, kritik, oto-kritik, serta saling berbagi informasi, yang pada akhirnya visi, misi, dan tujuan organisasi/perusahaan bisa tercapai. Semoga (*).
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dan Dosen Luar Biasa di Universitas Al Ghifari Bandung.
.