Pengantar Redaksi :
M. Yamin Nasution, menilai bahwa KUHP baru tidak memiliki inovasi yang berarti dan justru melanggengkan pendekatan lama yang menempatkan negara sebagai entitas yang harus dilindungi di atas kepentingan masyarakat.
Penulis mengangkat beberapa argumen kunci untuk mendukung kritiknya, termasuk bagaimana filosofi hukum pidana yang bertujuan melindungi negara lebih relevan pada abad ke-18 dan 19 ketika konsep negara berbeda dengan masa kini. Kritik ini menggarisbawahi bahwa pemahaman tentang perlindungan negara dalam hukum pidana berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan demokrasi, seperti dengan memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden atau lembaga negara.
Artikel ini mengingatkan kita bahwa hukum harus relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini, dan bahwa hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai masyarakatnya cenderung tidak efektif dan tidak dihormati. Selain itu, penulis mengajak adanya diskusi lebih lanjut tentang filosofi hukum pidana yang lebih modern, seimbang, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat demokratis masa kini.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan perspektif kritis yang menarik mengenai KUHP baru dan mengajukan tantangan kepada para pembuat undang-undang dan akademisi hukum untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan hukum yang akan mempengaruhi masyarakat dalam jangka panjang.
Oleh. M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Tak lama lagi, Indonesia akan segera menggunakan hukum pidana yang baru, atau dikenal dengan KUHP Baru. Aturan tersebut telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Untuk seanjutnya disebut KUHP-Nasional).
Banyak yang menyambut bahagia atas KUHP Nasional tersebut, mengingat selama Indonesia merdeka, khususnya hukum pidananya masih menggunakan produk warisan kolonial yang dianggap tidak memiliki kesesuain dengan kultur masyarakatnya dan selain itu sudah terlalu kuno.
Semangat tersebut, tentunya sangat memantik patriotik bangsa Indonesia, suatu prestasi sarjana hukum apabila mampu melepaskan diri dengan baik dari konsep hukum yang selama ini dibuat dan dipakai tidak untuk kepentingan perlindungan pada masyarakat, melainkan kepentingan penjajah dalam membentengi kekuasaan dari penolakan bangsa yang dijajah, dan memuluskan penjajah dalam mencuri dan merampok hak-hak kekayaan bangsa Indonesia dengan dasar hukum.
Hukum pidana kolonial adalah warisan penjajah Prancis ke Belanda, dan Belanda ke Hindia Belanda, Hindia Belanda ke Indonesia (Paska Merdeka). Hukum Pidana seperti yang disebutkan oleh ahli hukum pidana Prancis (M. Cheveau dan M. Christine Hellie, 1874) memberikan impunitas khusus kepada pihak kepolisian penjajah Prancis sehingga dapat lebih refresif dan semena-mena terhadap masyarakat yang dijajah (dalam hal ini masyarakat Belanda).
Hal tersebut benar-benar disadari oleh pihak Belanda, sehingga dalam sejarah perdebatan perubahan KHUP Belanda 1808 yang dimotori oleh Prof. AEJ Moderman, sifat impunitas (sibjektif berlebihan sehingga semena-mena saat menangkap seseorang) yang diberikan kepada pihak kepolisian tersebut adalah hal yang pertama kali menjadi konsentrasi untuk dibuang dan dilemahkan (H.J Smitd,1808 – Catatan Anggota DPR kala itu).
Melemahkan hak impunitas maka membuat suatu bahasa dan konsep hukum pidana yang memenuhi syarat dari sisi tujuan hukum secara antropologi, mengingat tujuan hukum berdasarkan antropologi memiliki makna yang berbeda sekaligus berlawanan, kepada penegak hukum yaitu menjaga subjektivitas penegak hukum dan kepada rakyat hukum melindungi dari subjektivitas tersebut.
Namun apakah demikian dengan KUHP-Nasional yang menjadi kebanggaan tim akademis pembentukan hukum tersebut? Sayang seribu sayang, menurut penulis KUHP Nasional tersebut hanya dibuat berdasarkan bangga hati dan kurangnya penelitian dan kehati-hatian, dan KUHP Nasional tersebut tidak lebih baik dari hukum pidana peninggalan kolonial yang dibuat berdasarkan kesombongan dan kesembronoan sebagaimana penelitian Prof. C.J. van Assen,1850.
Ahli dari Leiden, Prof. Assen mengatakan bahwa KUHP Hindia Belanda dibuat oleh orang-orang yang semena-mena bahkan dengan pengetahuan yang kosong tentang bahasa prancis lalu mereka tafsir semena-mena kedalam bahasa Belanda dan dibawa ke Hindia Belanda.
Teori Dasar Hukum Pidana
Secara umum, teori kejahatan terbagi atas dua yaitu: PERTAMA, Pandangan teori klasik mengatakan bahwa perilaku kejahatan manusia berasal dari pencarian rasa kesenangan dan penghindaran rasa sakit.
Teori ini dilandaskan pada konsep hukum alam, secara alamiah manusia akan seluas-luasnya mencari kebahagiaan dan mehindari rasa sakit, namun kerap kali pencarian kesenangan tersebut pada akhirnya melukai orang lain. Sehingga, kejahatan melanggar hak dianggap sebagai perilaku yang melanggar hukum yang ditetapkan.
Dalam pandangan teori klasik, kejahatan diartikan sebagai perilaku yang melanggar hukum. Dan dari perspektif klasik, kejahatan dapat di kendalikan dengan memberikan konsekuensi yang menyakitkan dari prilaku tertentu, sehingga melahirkan efek jera. Sanski terhadap suatu kejahatan berupa hukuman fisik, hukuman politik, moral atau agama.
KEDUA, Pandangan positivisme tentang kejahatan, menekankan pada faktor-faktor di luar pidana. Positivis mencoba menentukan faktor-faktor sebab akibat seseorang melakukan kejahatan dan mereka yang tidak melakukan kejahatan, perspektif ini berkembang pesat pada abad ke 20 dengan melibatkan disiplin ilmu lain, termasuk; biologi, ekonomi, psikologi, kriminologi, dan sosiolog (William J. Jenkins, 2017).
Hubungan Hukum Dengan Alam Harus Dapat Dijelaskan
Bicara tentang sebuah hukum, khususnya hukum pidana maka hal pertama yang harus ditanyakan adalah Apa fondasi dasar (landasan filosofis) dari bangunan hukum yang dibuat??
Mengingat seperti yang diajabarkan oleh Carl von Sauvigny, Setiap hubungan hukum terdiri dari hubungan orang ke orang. Elemen pertama yang harus dipelajari dari hubungan ini harus adalah sifat orang-orang yang dalam hubungan timbal baliknya kemungkinan besar akan menciptakan hubungan tersebut.
Sauvigny ingin menjelaskan bahwa hukum (pasal demi pasal) yang dibuat harus memiliki hubungan timbal balik dengan orang-orang yang ada dimasyarakat tersebut (sosiologis hukum).
Bila suatu hukum asing diberlakukan, maka mustahil ada penegakan hukum yang baik, dan masyarakat tidak akan taat pada hukum tersebut, sebab hukum yang asing bagi mereka.
Hal yang sama pernah disinggung oleh Lon L. Fuller, 2022 (lihat versi latin A Moralidade do Direito, Editora Contracorrente, versi Latin, 2022, hlm. 51) dari C.J. Vaughan dan Thomas vs. Sorrel, 1677 menyebutkan bahwa :
Sebuah hukum yang tidak dapat dipatuhi atau ditindaklanjuti oleh seseorang adalah tidak berlaku: dan tidak mungkin untuk mematuhi kontradiksi, atau bertindak berdasarkan kontradiksi tersebut.
a lei que um homem não pode obedecer, nem agir de acordo com ela, é nula: e é impossivel obedecer às contradiҫões, ou agir de acordo com elas.
Bicara tentang hubungan hukum maka pasal demi pasal harus diperdebatkan tidak secara dangkal, pasal perjinahan yang diatur pada KUHP-Nasional contohnya, pasal tersebut tidak memiliki hubungan hukum secara sosiologis dengan mayoritas masyarakat, sehingga akan berdampak buruk dalam prakteknya kelak dimasyarakat dan pada kepolisian dan pembuktian akan sangat lemah.
Filosfis KHUP Nasional versi Prof. Eddi O. Hiariej
Prof. Eddie O. Hiariej dalam beberapa pertemuan mengatakan bahwa “….. Mas, anak hukum smester 1 juga mengetahui bahwa, secara filosofis hukum pidana bertujuan untuk perlindungan terhadap tiga hal, PERTAMA, perlindungan terhadap negara, KEDUA, perlindungan terhadap individu, dan KETIGA, perlindungan terhadap kelompok masyarakat.” Dan pernyataan-pernyataan tersebut tersebar di media online.
Tahukah anda bahwa, pernyataan tersebut adalah pandangan ortodoks, kuno dan membahayakan bagi kehidupan masyarakat negara demokratis, khususnya untuk tujuan perlindungan terhadap negara. Adapun alasan-alasannya ialah dibawah ini.
Bantahan Argumen Penulis
PERTAMA, bahwa arti negara dahulu pada tahun 1800an dan dibawah tahun tersebut berbeda dengan saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan negara ialah individu-individu yang ada kedalam komunitas dan komunitas menjadi negara (Dr. Eduard Mahirs, 1830).
Sedangkan saat arti negara adalah sebuah organisasi yang memiliki kedaulatan ditangan rakyat. Dan perlindungan terhadap wilayah negara menjadi tugas Tentara Nasional Indonesia, bahkan secara jelas terdapat pada Pasal 7 UU TNI menerangkan bahwa TNI berada dibaris dalam mempertahan wilayah negara dan rela mati.
KEDUA, Christoph Christian von Dabelow, (1793) menerangkan tentang hukum pidana negara mengatur tentang pelaku pelanggaran, selain pelanggaran hak, keamanan dan pertahanan negara. Hukum pidana perlindungan terhadap negara adalah hukum pidana alam yang di alihkan kepada negara.
KETIGA, ketika filosofis hukum pidana bertujuan untuk perlindungan negara, maka akan berlaku dua konsep kejahatan terbesar dalam negara, yaitu : MAKAR DAN PENGHINAAN PRESIDEN DAN PENHINAAN LEMABAGA NEGARA.
Sebagaimana yang dijabarkan oleh motor Asas Legalitas Johann Ritter A. von Feuerbach, (1789) sebelum ia mengemukan asas legalitas pada tahun 1801, ia mendukung teori pidana kejahatan terbesar bagi negara yang dilakukan oleh individu warga negara terhadap pemimpin negara yaitu tentang pencemaran nama baik pemimpin negara.
Dengan dalil keterengannya bahwa: Pemimpin negara memiliki tugas terbesar, yaitu mensejahterakan rakyatnya, setiap individu yang menghina pemimpin tersebut sama artinya dengan menghina seluruh rakyat (negara adalah individu), besarnya negara mengeluarkan biaya untuk menumpas makar “anslag” maka demikianlah besarnya energi yang dikeluarkan negara, tembak di tempat bagi pelaku makar, maka dapat dilakukan bagi individu warga negara, dalam hukum Romawi kejahatan ini disebut crimen majesty. Inilah ajaran hukum alam terdahulu sebagaimana yang dijabarkan von Dabelow diatas.
Pandangan ini telah berubah sejalan dengan kemajuan zaman, pandangan bahwa hukum pidana sebagai alat perlindungan dan keaaman negara menempatkan bahwa negara menjadi pertama dan utama untuk dilindungi dari ganguan-ganguan masyarakat sehingga seorang pemimpin dan lembaga negara harus dijadikan sebagai sumber utama yang harus dilindungi sehingga; pemimpin, keluarga pemimpin serta lembaga negara memiliki anti body yang absolut dan anggapan penghinaan pada pemimpin harus dihukum secara berat.
KEEMPAT, bahwa dalam sejarahnya hukum pidana memang melindungi tiga hal yaitu : 1) Perlindungan terhadap Individu, 2). Perlindungan terhadap komunitas, dan 3). Perlindungan terhadap hewan (dan perlindungan terhadap hewan diatur dalam KUHP yang berlaku Pasal 302 Ayat (1) angka 1 dan 2, Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4).
Tiga tujuan hukum pidana secara filosifis tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan para ahli hukum pidan Eropa sebagaimana yang ditulis oleh Introbooks Team #332, readintrobooks.com dalam buku “Gröβte Kriminelle in Der Geschicte,” (2017).
Kesimpulan
Hukum Pidana Nasional (UU No 1 Tahun 2023 Tentang KUHP) atau KUHP Baru kerap kali di gadang-gadang produk modern, namun faktanya penulis menemukan fondasi besar dari bangunan hukum pidana ini sangat ortodoks, kuno dan mengancam kehidupan demokrtais masyrakat negara kedepan.
Bantahan demi bantahan secara ilmiah sengaja ditulis dan dibuat, mengingat selama ini minimnya bantahan argumen yang ilmiah dan tidak berimbang membuat guru besar hukum pidana congkak dengan kekacauan pikiran hukumnya, dengan demikian diharapankan adanya pertemuan pikiran-pikiran hukum pidana yang konperhensif, mengingat hukum ini untuk dipakai dalam kehidupan masa depan dengan waktu yang panjang.
Kekacauan pemahaman tujuan hukum pidana secara filosofis (fundamental) yang disampaikan Prof. Eddie O. Hiariej telah berdampak lahirnya aturan tentang penghinaan terhadap diri dan presiden serta lembaga negara.
Hukum memiliki sifat bunglon, ia berubah tergantung fungsi dan pemakainya, kedepan dapat dibayangkan bila pemakai hukum pidana nasional tersebut adalah monster, maka masyrakat akan dimangsa oleh sang monster.