Fusilatnews – Judul ini mungkin terdengar tidak indah, bahkan cenderung sembrono. Tapi begitulah ungkapan dari rasa kesal yang memuncak. Bagaimana tidak, ketika Presiden Prabowo Subianto menyampaikan konferensi pers yang begitu penting—tentang arah kebijakan baru yang menyentuh kehidupan rakyat—sang wakil presiden justru absen.
Seorang wapres bukan sekadar pelengkap. Dalam etika ketatanegaraan, setiap momen penting kenegaraan seharusnya menjadi panggung bersama. Presiden dan wakil presiden adalah satu paket, dua figur yang dipilih rakyat untuk memimpin, bukan sekadar dua nama yang kebetulan berdampingan dalam kertas suara. Karena itu, ketidakhadiran Gibran Rakabuming Raka menimbulkan tanda tanya besar.
Ketidakhadiran itu bukan peristiwa kecil. Ia menggoreskan persepsi publik bahwa wakil presiden tidak memaknai betul tanggung jawab jabatannya. Publik menunggu simbol kebersamaan, tapi yang muncul justru ruang kosong di sebelah presiden. Dari ruang kosong itu, lahirlah spekulasi.
Ada yang menyindir: mungkin Gibran lebih sibuk rapat dengan perwakilan ojek online gadungan—yang anehnya malah mencuri perhatian publik karena, satu dinatara mereka, ada yang mnengenakan sepatu seharga Rp2 juta. Ada pula dugaan lebih liar: jangan-jangan ia kabur ke luar negeri, entah untuk urusan pribadi atau sekadar menghindar dari sorotan.
Apapun spekulasinya, intinya sama: publik merasa dikecewakan. Seorang wakil presiden mestinya hadir, apalagi ketika keputusan besar diumumkan. Tidak ada alasan yang bisa diterima oleh akal sehat politik dan etika kenegaraan.
Gibran, where are you? Pertanyaan ini bukan sekadar keresahan sesaat, melainkan refleksi dari rakyat yang ingin melihat pemimpin mereka menjalankan amanah dengan penuh keseriusan. Sebab jabatan yang disandang bukan hanya simbol, melainkan tanggung jawab yang menuntut kedewasaan.























