Fusilatnews – Ada yang aneh tapi nyata. Sejumlah pengemudi ojol tiba-tiba dipanggil ke Istana Wapres untuk ngobrol sama Gibran. Mestinya yang terdengar adalah curhat khas ojol: “Bang, tarif makin tipis, bensin naik, orderan seret, kapan ada kebijakan yang manusiawi?” Tapi yang keluar malah kalimat berbumbu akademis.
“Karena mengingat eskalasi makin meningkat,” kata seorang bernama Rahman Thohir. Lalu dengan enteng ia menyebut para pengemudi sudah memberikan edukasi kepada para taruna. Taruna? Ini ojol atau akademi militer, Bung?
Publik pun terpingkal-pingkal. Netizen ramai-ramai menilai, gaya bicara macam ini lebih pantas nongol di seminar politik kampus ketimbang obrolan driver di pangkalan.
Belum selesai heran, muncul lagi cerita soal penampilan. Ada driver yang datang dengan sepatu merek terkenal, Air Jordan, harganya tembus dua juta. Padahal, jangankan beli sepatu seharga motor mini, banyak ojol asli di lapangan masih harus putar otak buat beli ban luar.
Lebih runyam lagi, asosiasi ojol lain angkat suara: “Kami nggak kenal mereka. Nggak pernah lihat nongol di lapangan.” Wah, kalau benar begitu, lalu siapa sebenarnya “driver” yang duduk manis di Istana?
Pola ini sebetulnya bukan baru. Publik jadi teringat gaya bapaknya Gibran—si Pendusta—yang sering kali menggelar drama pencitraan. Ada pedagang kaki lima yang tiba-tiba disulap jadi juru bicara, ada nelayan yang entah kapan melaut tapi bisa fasih bicara soal subsidi. Kini gaya itu diwariskan, lengkap dengan pernak-perniknya.
Soal pencitraan memang gampang-gampang susah. Kalau terlalu halus, orang tak sadar. Tapi kalau kebablasan, malah jadi bahan lelucon. Seperti sekarang, kata “eskalasi” dan “taruna” mendadak populer di kalangan ojol—bukan karena mereka memakainya, tapi karena publik merasa itu bukan kosakata mereka.
Lama-lama rakyat jadi curiga: ini pemerintah mau mendengar suara rakyat, atau sekadar mendengar suara yang sudah dilatih duluan di ruang ganti?























