Yang harus diperhatikan dalam redenominasi masyarakat harus memahami dulu tentang apa itu redenominasi bagaimana prakteknya dalam transaksi perdagangan barang dan jasa.
Jakarta-Fusilatnews.–Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan redenominasi rupiah sudah lama direncanakan dan dipersiapkan
“Kami dari dulu sudah siap, jadi redenominasi itu sudah kami siapkan dari dulu masalah desainnya, kemudian juga tahapan-tahapannya itu sudah kami siapkan sejak dari dulu secara operasional dan bagaimana untuk langkah-langkahnya,” kata Perry, dikutip dari Kompas.com, Rabu (28/6)
Menurut Gubernur BI keputusan redenominasi nantinya harus menunggu waktu yang tepat. Selain itu, terdapat tiga faktor yang menentukan redenominasi rupiah bisa dilakukan, yakni:
Kondisi ekonomi makro bagus. Kondisi kebijakan moneter stabil. Kondisi sosial politik mendukung.
“Ekonomi kita kan sudah bagus iya, sudah bagus tetapi ada baiknya memberikan momen yang tepat, tentu saja perlambatan dari global masih berpengaruh, demikian juga stabilitas ekonomi dan moneter kita kan bagus tetapi ketidakpastian global masih ada, sabar, kondisi sosial politiknya pemerintah yang lebih tahu,” kata Penny
Adanya sejumlah risiko yang membayangi jika redenominasi dilakukan. Lantas, apa saja risikonya?
Menurut pakar ekonomi , Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, redenominasi belum tepat dilakukan dalam waktu dekat,
Redenominasi memang memiliki manfaat positif, namun belum tepat dilakukan dalam waktu dekat. “Redenominasi masih belum tepat dilakukan dalam jangka pendek,” ujarnya Rabu (28/6).
Sejumlah manfaat positif dari redenominasi menurut Bhima, yakni: Meningkatkan efisiensi transaksi keuangan. Penyederhanaan laporan keuangan. Mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Bhima mewanti-wanti, jika BI memang mau melakukan redenominasi, sebaiknya harus membuat roadmap dahulu sehingga masyarakat dan para pelaku usaha bisa bersiap.
Jika redenominasi tetap dipaksa dilakukan saat inflasi masih tinggi, dikhawatirkan hiperinflasi akan terjadi.
Risiko hiperinflasi) dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang menaikkan pembulatan harga ke atas,” ujar Bhima.
Sebagai contoh, jika harga barang sebelum pemangkasan nominal uangnya Rp 9.200, saat redenominasi tak mungkin mengubah harga menjadi Rp 9,5. Hal itu kemudian membuat harga dibulatkan ke atas, menjadi Rp 10. Akibatnya, akan ada banyak barang yang harganya naik signifikan.
Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. Akibatnya apa? hiperinflasi yang memukul daya beli,” ujarnya.
Belajar dari kegagalan negara lain Bhima juga meminta agar pemerintaah belajar dari kegagalan redenominasi dari Brasil, Rusia, serta Argentina.
Kegagalan terjadi karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, dan ekonomi yang mengalami tekanan eksternal.
Menimbang jumlah penduduk dan unit usaha di Indonesia yang cukup besar, Bhima menilai butuh waktu 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat. “Menjelang pemilu, risiko redenominasi gagal juga tinggi,” imbuhnya.
Sebagai informasi, redenominasi merupakan penyederhanaan nilai nominal mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Yang harus diperhatikan dalam redenominasi masyarakat harus memahami dulu tentang apa itu redenominasi bagaimana prakteknya dalam transaksi perdagangan barang dan jasa.
Harus ada masa transisi dimana semua merchan harus menampilkan label dua harga yaitu harga dengan uang baru (redenominasi) dan harga uang lama.
Contohnya. Harga dengan uang lama Rp 1000,- maka dengan uang baru Rp 1,-