Oleh Damai Hari Lubis-Pengamat KUHP dan Politik Hukum
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku kehilangan ijazah aslinya, publik tidak hanya mengernyitkan dahi, tapi juga mempertanyakan integritas seluruh sistem hukum yang seolah-olah ikut melindungi narasi tersebut. Pernyataan tersebut muncul tepat setelah Bareskrim Polri mengumumkan hasil uji laboratorium forensik (Labfor) yang menyatakan bahwa ijazah S-1 Jokowi identik dengan yang asli.
Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah: bagaimana bisa Bareskrim menyatakan ijazah itu asli, sementara sang pemilik justru mengaku ijazah aslinya hilang? Apa yang diuji sebenarnya? Di sinilah letak keganjilan hukum yang membuka ruang kecurigaan terhadap rekayasa kekuasaan.
Proses Hukum atau Sandiwara Politik?
Laporan dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi, yang diajukan oleh TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), sejatinya merupakan upaya hukum murni, sebagaimana diatur dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, investigasi oleh penyidik Bareskrim Polri justru sarat dengan aroma intervensi politik. Indikasi penyimpangan terhadap KUHAP—kitab suci sistem peradilan pidana Indonesia—muncul sejak awal proses. Banyak langkah penyidik yang tak mengindahkan prosedur formal, sehingga membuat publik ragu akan hasil akhirnya.
Sementara laporan balik oleh Jokowi terhadap anggota TPUA, seperti Dr. Roy Suryo, Prof. Eggi Sudjana, dr. Tifauzia Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani, SH, justru diproses dengan sangat cepat. Kontras ini memperkuat dugaan bahwa hukum tidak sedang berjalan secara netral, melainkan sedang digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam kritik dan perlawanan sipil.
Kebenaran vs Kekuasaan
Setelah Bareskrim mengumumkan bahwa ijazah Jokowi “identik dengan yang asli”, bukan legitimasi yang tumbuh, melainkan skeptisisme. Publik kian ragu, bahkan banyak yang meyakini bahwa pernyataan tersebut hanyalah pelindung kekuasaan. Survei dan polling di berbagai media sosial menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat tetap meragukan keabsahan ijazah Jokowi.
Pakar IT seperti Roy Suryo dan Dr. Rismon Sianipar justru telah melakukan analisis forensik digital sendiri dan menemukan bahwa hasil Labfor Bareskrim berbanding terbalik 180 derajat dengan temuan mereka. Dalam sistem hukum, pembelaan semacam ini sah dan dijamin oleh KUHAP. Dan jika perkara ini tetap dilanjutkan ke tahap penyidikan dan pengadilan, maka para terdakwa dari TPUA berhak menghadirkan saksi ahli dan bukti tandingan yang sah menurut hukum.
Risiko Bumerang bagi Penegak Hukum
Apabila pihak penyidik tetap memaksakan peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan terhadap Roy cs, maka mereka harus bersiap menghadapi konsekuensi hukum yang tak ringan. Sebab, ketika data dan bukti dihadapkan di pengadilan, dan hasil uji lab yang diumumkan Bareskrim terbukti cacat metodologi, maka kredibilitas institusi penegak hukum akan runtuh. Ini bukan sekadar soal ijazah, tapi soal akuntabilitas negara.
Yang lebih ironis lagi, Jokowi justru mengaku bahwa ijazah aslinya hilang, dan hanya menunjukkan surat kehilangan yang tak dilaporkan ke kepolisian. Padahal, dalam perkara hukum yang menjadikan dokumen itu sebagai pokok permasalahan, barang bukti harus berada dalam penguasaan penyidik dan dapat diperiksa secara objektif. Pernyataan kehilangan justru menjadi tameng, bukan klarifikasi.
Prediksi Politik: Kasus Bisa Mandek atau Dipaksakan
Dari perspektif politik kekuasaan, bukan tidak mungkin kasus ini tidak dilanjutkan. Mengendapnya kasus, atau bahkan dihentikannya penyidikan tanpa penjelasan yang masuk akal, bisa saja menjadi skenario yang dipilih demi meredam gejolak. Namun jika tetap dipaksakan naik ke pengadilan, masyarakat tidak perlu terkejut bila prosesnya berlangsung ganjil, karena sejak awal substansi hukumnya sudah dibayangi oleh konflik kepentingan.
Yang jelas, perkembangan kasus ini tak hanya akan menguji keabsahan ijazah Jokowi, tetapi juga menjadi cermin sejauh mana penegakan hukum masih bisa dipercaya di era demokrasi yang semakin terkikis oleh kepentingan elite.
Penutup:
Dalam negara hukum yang sehat, integritas dan transparansi menjadi landasan. Namun ketika ijazah seorang Presiden dipertanyakan dan lembaga hukum justru berlindung di balik pengakuan kehilangan, maka bukan hanya keabsahan dokumen yang diragukan, tapi juga keabsahan moral pemerintahan itu sendiri.