Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai, upaya pemajuan hak asasi manusia (HAM) di era Presiden Joko Widodo tercatat tidak pernah menyentuh angka moderat 4 dari skala 1-7.
Menurut dia, di akhir kepemimpinan periode pertama, indeks HAM yang mencatat kinerja Jokowi selama 2014-2019 hanya mencapai skor 3,2. Lalu, angka itu menurun menjadi 2,9 di era pandemi 2020. “Beranjak di angka 3 pada tahun 2021, lalu 3,3 di tahun 2022, turun menjadi 3,2 pada 2023, dan ditutup pada angka 3,1 di akhir jabatannya pada tahun 2024,” kata Halili Hasan dalam Peluncuran Indeks HAM 2024 bertajuk, “Distraksi Hak Asasi di Rezim Transisi” di Jakarta, Selasa (10/12/2024) atau bertepatan dengan Hari HAM Sedunia.
Hadir Ketua Badan Pengurus Institute Dr Ismail Hasani SH MH yang juga dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, serta Peneliti Setara Institute Sayyidatul Insiyah alias Sisy.
Sebab itu, kata Halili, Presiden Prabowo Subianto yang menggantikan Jokowi dan DPR RI diharapkan mengakselerasi agenda pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontributif terhadap pemajuan HAM.
Menurut Halili, ada beberapa RUU yang patut menjadi perhatian untuk pemajuan HAM.
Halili memaparkan, rendahnya skor pemajuan HAM memvalidasi gagalnya Jokowi dalam memenuhi janji-janji yang disampaikan, baik dalam Nawacita pertama maupun Nawacita kedua.
Halili juga menyoroti kebebasan beragama yang dalam kondisi stagnasi menuju regresi. Ia merujuk skor indikator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebesar 3,2 pada Indeks HAM 2024.
“Ini menunjukkan tidak bergesernya angka peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB yang cukup tinggi di era kepemimpinan Presiden Jokowi,” tuturnya.
Lebih jauh Halili menuturkan sepanjang dekade Jokowi dari 2014-2023, pelanggaran terhadap KBB terjadi dengan 1.792 peristiwa dan 2.815 tindakan. Contohnya gangguan tempat ibadah yang masih terus mengalami kenaikan signifikan dalam pemerintahan Jokowi.
“Yaitu 65 gangguan tempat ibadah di tahun 2023, 50 tempat ibadah pada tahun 2022, 44 tempat ibadah di tahun 2021, 24 tempat ibadah pada 2020, 31 di tahun 2019, 20 pada tahun 2018, dan 16 tempat ibadah di tahun 2017,” jelas Halili.
Kemudian, ia menyinggung regresi hak turut serta dalam pemerintahan sebagai refleksi rendahnya kualitas demokrasi.
Dia bilang hal itu terlihat dalam dinamika segala proses jelang hingga pelaksanaan pesta elektoral Pilpres/Pilkada 2024. “Menggambarkan bagaimana rendahnya kualitas demokrasi saat ini. Partisipasi pemilu serentak 2024 tidak menyentuh 70%, sarana prasarana pemilu yang tidak inklusif,” tuturnya.
Selain itu, ia menyoroti adanya upaya kriminalisasi berbasis UU ITE. Lalu, represivitas atas penyampaian pendapat, pembubaran diskusi publik, hingga pengerdilan terhadap kebebasan akademik. “Rentetan peristiwa yang menjadikan rendahnya skor pada indikator kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat,” ujarnya.
Sebab itu, Setara Institute merekomendasikan lima hal untuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan DPR selaku pihak legislatif.
Ia menaruh harapan agar Prabowo dan DPR bisa mengakselerasi agenda beberapa RUU yang bisa berkontribusi terhadap pemajuan HAM. “Presiden Prabowo Subianto bersama DPR RI mengakselerasi agenda pengesahan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, penting melakukan tinjauan ulang terhadap regulasi yang kontra-produktif terhadap pemajuan HAM seperti RUU Penyiaran.
Lalu, upaya pelemahan checks and balances seperti RUU Mahkamah Konstitusi. Pun, dia menambahkan, Presiden Prabowo Subianto disarankan segera melakukan penghentian atau evaluasi berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tengah berjalan.
Dia menyampaikan hal itu untuk mencegah keberulangan atas kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat maupun aktivis lingkungan dan memberikan hak restitusi terhadap korban akibat PSN. “Presiden Prabowo Subianto mengadopsi dan memastikan tata kelola pemerintahan yang inklusif (inclusive governance) sebagai basis dalam penerbitan regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan keberagaman,” tandasnya.