Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews – Sudah bisa ditebak. Langkah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengumumkan Mohamad Sohibul Iman sebagai calon gubernur Jakarta dalam Pilkada 2024, Ahad (23/6/2024) lalu sekadar manuver politik belaka.
Tujuannya: menaikkan “bargaining position” (posisi tawar) partai politik berjuta umat ini di hadapan Anies Baswedan dan parpol-parpol lainnya.
Buktinya, hanya dua hari berselang, Selasa (25/6/2024), PKS langsung melakukan koreksi atas keputusan sebelumnya dengan menyatakan Anies Baswedan sebagai cagubnya.
Sohibul Iman, bekas Presiden PKS yang kini Wakil Ketua Dewan Syuro itu kemudian terdegradasi menjadi calon wakil gubernur (cawagub) bagi Anies. Alasannya, meskipun menjadi pemenang Pemilu 2024 di Jakarta, tapi PKS harus realistis.
Realistis semacam apa? Mengakui elektabilitas Anies yang sementara ini tertinggi di antara kandidat lainnya. Mungkin. Elektabilitas adalah senjata pamungkas dalam kontestasi elektoral level apa pun.
Sementara elektabilitas Sohibul belum meyakinkan. Termasuk jika dibandingkan dengan Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, atau Kaesang Pangarep, tiga sosok lain yang disebut-sebut bakal bersaing di Pilkada Jakarta 2024.
Ada ungkapan, “If you can’t beat them, join them” (jika kamu tak bisa mengalahkan mereka maka bekerja samalah)! Anies terlalu perkasa untuk dapat dirobohkan Sohibul.
Berikutnya, realistis bahwa PKS tidak bisa sendirian mengusung cagub-cawagub. Sebab meskipun menang pemilu, tapi perolehan kursi PKS di DPRD Jakarta “hanya” 18 biji. Padahal, sesuai amanat Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), untuk bisa mengajukan cagub-cawagub minimal parpol atau gabungan parpol harus punya 22 kursi atau 20% dari total 106 kursi di DPRD Jakarta.
Dus, PKS harus berkoalisi dengan parpol lain jika hendak mengusung cagub-cawagub. Jika tidak, maka meskipun Sohibul sudah diplot sebagai cagub, namun tak bisa didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dukungan suaranya tak cukup.
Dengan mencalonkan Anies, maka PKS akan bisa mengusung cagub-cawagub, karena Anies sudah terlebih dahulu dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki 10 kursi di DPRD Jakarta hasil Pemilu 2024. Jumlah kursi kedua parpol itu pun sudah lebih dari cukup untuk mengusung cagub-cawagub.
Bukan Solusi Final
Namun, langkah PKS menganulir pencaguban Sohibul lalu mencalonkan Anies bukanlah solusi final. PKS akan dihadapkan pada sederet probem lain. Apa itu?
Pertama, jika benar Sohibul menjadi cawagubnya Anies maka keduanya tidak akan menambah luas ceruk suara di pilkada. Keduanya akan memungut suara pada ceruk yang sama. Ibarat berburu ikan, keduanya berada pada kolam yang sama. Duet Anies-Sohibul yang berasal dari habitat politik yang sama itu pun tidak akan cukup kuat.
Sebab, meski bukan seorang kader, tapi selama ini Anies sudah terlanjur identik dengan PKS. Anies ya PKS, PKS ya Anies. Sebab, parpol yang kini dinahkodai Ahmad Syaikhu itu pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2024 mengusung bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Kedua, bagaimana bisa PKB yang telah lebih dulu mencalonkan Anies akan rela begitu saja dan membiarkan kursi cawagub diambil PKS? Meski jumlah kursinya di DPRD Jakarta kalah jauh dari PKS, namun PKB punya “privileges” (hak istimewa) karena yang paling dulu mencalonkan Anies. Sedangkan parpol lain masih sebatas “omon-omon” saja.
Pun, bukankah PKB juga akan menyorongkan kadernya sendiri sebagai cawagubnya Anies?
Begitu pun Partai Nasdem yang hampir pasti ikut PKB dan PKS mencalonkan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 itu. Nasdem pun sudah mewacanakan sejumlah kadernya sebagai cawagubnya Anies. Salah satunya Ahmad Sahroni, sang bendahara umum.
Alhasil, kursi cawagubnya Anies diyakini akan diperebutkan dengan alot oleh PKB, PKS dan Nasdem. Sohibul pun bisa terdegradasi lagi, sehingga tidak menjadi cawagub apalagi cagub. Nasib bekas Rektor Universitas Paramadina Jakarta, sebagaimana Anies, itu pun akan seperti layang-layang yang putus talinya.
Ketiga, bila kemudian PKS memilih opsi merekrut Anies sebagai kader ketika nanti Sohibul jadi terdepak dari posisi cawagub, sehingga PKS akan tetap punya cantolan di pemerintahan Jakarta, persoalannya adalah apakah Anies mau masuk PKS atau tidak?
Kalau memang mau masuk PKS atau parpol lain, mungkin sudah dari dulu Anies melakukannya. Tapi tidak. Bahkan saat menjadi calon presiden di Pilpres 2024 pun Anies tak mau masuk parpol apa pun. Apalagi di pilkada.
Anies seorang yang independen, non-partisan, non-parpol, tapi diusung parpol. Politik yes, partai politik no. Demikian barangkali kata Anies dalam benaknya.
Jika Anies Baswedan dan/atau parpol-parpol pendukungnya selain PKS tidak mau menerima Sohibul Iman sebagai cawagub, tentu ini akan menjadi problem besar bagi PKS.
Pun, jika Anies katakanlah menolak bergabung dengan PKS setelah menolak Sohibul sebagai cawagubnya, tentu ini juga akan menjadi problem besar bagi PKS.
Akhirnya, PKS bisa kembali menjadi kambing congek yang harus menuruti perintah Anies Baswedan atau parpol lainnya. Hati-hati PKS. Manuver politikmu mudah dibaca lawan!