FusilatNews – Pernikahan di Korea Selatan kini bukan sekadar urusan hati. Ia berubah menjadi urusan negara, bahkan agenda nasional. Di tengah kekhawatiran yang kian membesar akan depopulasi—fenomena menyusutnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu—pemerintah Korea Selatan menggulirkan strategi tak lazim: merayu rakyatnya agar jatuh cinta, menikah, dan punya anak, dengan segepok insentif.
Di distrik Saha, Busan, misalnya, cinta bisa diuangkan hingga 20 juta won atau setara Rp 226 juta, asalkan cinta itu lahir dari acara perjodohan buatan pemerintah setempat. Tambahkan ongkos kencan 500.000 won, tunjangan pertunangan 1 juta won, dan subsidi bulan madu 10 juta won. Cinta di sini diberi harga, dan negara siap membayar.
Tak hanya Busan, tren “insentif cinta” ini menjalar ke berbagai penjuru negeri. Kabupaten Hadong menaikkan subsidi pernikahan dari 5 menjadi 6 juta won. Geochang menawarkan 600.000 won per tahun selama tiga tahun. Bahkan Seoul, kota dengan tingkat kesuburan terendah di antara 17 provinsi besar, ikut bermain dengan skema “dana awal pernikahan” mulai Oktober mendatang. Gyeonggi, Sunchang, hingga Hwasun tak mau kalah dalam lomba memberi mahar dari negara.
Namun, di balik kemilau angka-angka ini, muncul pertanyaan sunyi yang menggema: benarkah uang bisa mengalahkan krisis eksistensial yang membelenggu generasi muda Korea?
Kritikus kebijakan ini—dan mereka jumlahnya tidak sedikit—menganggap upaya pemerintah seperti menambal atap bocor dengan plester luka. Persoalan utama bukan pada biaya kencan atau pertunangan, melainkan pada kenyataan bahwa menikah dan punya anak di Korea hari ini adalah pilihan yang tak masuk akal bagi banyak anak muda.
Harga rumah selangit, beban kerja yang menggilas waktu personal, serta sistem pendidikan dan kompetisi kerja yang menjerat sejak dini, menjadi latar struktural dari krisis kelahiran ini. Dalam lanskap itu, cinta kehilangan ruang, dan keluarga menjadi beban, bukan impian.
Insentif-insentif ini pun tampak seperti seruan panik dari negara yang ditinggal generasi mudanya. Statistik tak bisa dibohongi: sejak program hibah pernikahan digulirkan di Kota Jinju pada 2021, lebih dari 4.000 pasangan menerima dana, tapi angka pernikahan tetap stagnan. Bahkan di Kabupaten Jangsu yang sudah memberi insentif 10 juta won sejak 2018, tren penurunan pernikahan tak kunjung tertahan.
Apa yang tersisa ketika masyarakat tak lagi percaya pada masa depan? Mungkin ini yang tengah dicoba dijawab oleh pemerintah Korea Selatan—dengan cara yang terburu-buru, dan kadang terasa putus asa.
Cinta, ternyata, tetap menolak dimanipulasi. Ia bukan soal subsidi atau promosi. Ia tumbuh dalam harapan, ruang, dan jaminan hidup yang layak. Dan selama akar-akar krisis sosial-ekonomi tak disentuh, insentif sebanyak apa pun mungkin hanya akan menjadi statistik tambahan dalam laporan kebijakan—tanpa mengubah kenyataan bahwa negeri itu perlahan kehilangan manusianya.