Membaca Temuan Dr. Melani Buitenzorgy
Pertanyaan ini terdengar provokatif, bahkan terkesan mustahil. Bagaimana mungkin seorang wakil presiden Republik Indonesia hanya berijazah setingkat sekolah dasar? Namun, itulah simpulan yang muncul dari analisis tajam seorang akademisi IPB, Dr. Melani Buitenzorgy. Dengan berbekal regulasi resmi dan penelusuran dokumen pendidikan, ia mempertanyakan keabsahan jalur pendidikan Gibran Rakabuming Raka—dan mengajukan kemungkinan mengejutkan bahwa kualifikasinya tak lebih dari tamatan SD.
Menyigi Jalur Pendidikan Gibran
Dr. Melani menyoroti dua institusi penting dalam riwayat pendidikan Gibran: Orchid Park Secondary School (Singapura) dan UTS Insearch (Australia).
- Orchid Park Secondary School menurutnya hanya setara dengan SMP plus satu tahun. Lulusannya memperoleh sertifikat GCE O-Level, yang di Indonesia belum bisa disetarakan dengan ijazah SMA. Dengan kata lain, titik ini belum bisa dianggap sebagai bukti pendidikan menengah atas.
- UTS Insearch, tempat Gibran melanjutkan studi, bukanlah sekolah menengah atas, melainkan program persiapan universitas (foundation program). Lembaga ini tidak mengeluarkan school leaving certificate resmi yang lazimnya menjadi dasar penyetaraan ijazah di Indonesia.
Mengacu pada Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2020, penyetaraan hanya berlaku bagi ijazah pendidikan dasar atau menengah dalam sistem asing yang diakui. Karena UTS Insearch tidak memenuhi kategori ini, maka menurut Dr. Melani, dokumen penyetaraan yang menyetarakan pendidikan Gibran setara kelas XII SMK seharusnya batal demi hukum.
Celah Regulasi dan Misteri Penyelarasan
Lebih jauh, Dr. Melani menggarisbawahi perbedaan standar kelulusan. Di Indonesia, ijazah SMA atau sederajat hanya diberikan jika siswa lulus semua mata pelajaran dengan nilai minimum. Sementara, sistem O-Level maupun A-Level Singapura tidak mensyaratkan batas minimum tersebut. Perbedaan mendasar inilah yang membuatnya menilai bahwa dokumen penyetaraan Gibran tidak memiliki landasan hukum yang sah.
Dalam logika akademiknya, jika jalur SMA tak bisa diverifikasi, dan penyetaraan ijazah luar negeri dianggap tidak sah, maka yang tersisa hanyalah ijazah sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan terakhir yang benar-benar valid.
“FIX, Kualifikasi Gibran Cuma Tamatan SD”
Kalimat tegas inilah yang keluar dari pena Dr. Melani. Ia menutup analisisnya dengan simpulan dramatis: jalur pendidikan yang selama ini diklaim Gibran tidak memenuhi standar penyetaraan formal Indonesia. Maka, jangan-jangan, seorang wakil presiden di negeri ini hanya berijazah SD?
Antara Logika dan Politik
Temuan Dr. Melani mengguncang nalar publik. Jika analisisnya benar, ini bukan sekadar urusan pribadi Gibran, melainkan skandal politik dan hukum. Bagaimana mungkin seorang pejabat setingkat wakil presiden bisa lolos dari syarat minimal pendidikan yang jelas tertera dalam konstitusi dan regulasi pemilu?
Namun, jika temuan ini diabaikan, publik akan melihatnya sebagai bukti betapa hukum bisa dipelintir demi melindungi kepentingan politik tertentu. Dalam keadaan semacam ini, analisis Dr. Melani hadir sebagai alarm: bahwa di balik gelar dan jabatan, mungkin saja tersimpan kenyataan getir soal pendidikan yang tak pernah benar-benar transparan.





















