“Jadi dapatkah paradigma negara itu mengakui kepemilikannya dan bisa dimanfaatkan? Sangat dapat. Ini kan soal political will kan, willingness yang mesti dimiliki. Aktor sekali lagi, bu. Orang boleh bicara apa pun, tapi aktornya melakukan apa enggak,” ujar Ganjar.
Jakarta – Fusilatnews – Sebuah tradisi baru di Kampus UI, Tradisi menggelar Kuliah Kebangsaan di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, di Kampus UI Depok, Jawa Barat yang digagas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) diharapkan bisa menjadi tolok ukur tingkat intelektual, kecakapan, kecerdasan dan wawasan bakal calon presiden yang akan bersaing dalam kontestasi presiden 2024 mendatang dan menjadi referensi untuk menentukan pilihan pada pilpres 2024.
Bakal calon presiden (bacapres) Ganjar Pranowo dalam memberikan kuliah kebangsaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia (FISIP UI), Senin (18/9) dengan tajuk Hendak ke Mana Indonesia Kita? Gagasan, Pengalaman, dan Rencana Para Pemimpin Masa Depan’.
Dalam kesempatan itu, bacapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapat sejumlah pertanyaan dari panelis dan mahasiswa yang hadir. Salah satu pertanyaan diberikan oleh panelis sekaligus dosen Antropologi Sosial FISIP UI Suraya Afiff yang menyoal tentang konflik agraria hingga kasus terbaru di Pulau Rempang.
Suraya bertanya soal kemungkinan paradigma negara diubah dengan mengakui kepemilikan lahan yang sudah dimanfaatkan oleh rakyat, seperti halnya pada kasus di Pulau Rempang.
“Pertanyaannya, dapatkah paradigma negara itu diubah yaitu mengakui kepemilikan lahan yang saat itu sudah dimanfaatkan rakyat, kasus Rempang itu gimana? Harusnya kan diakui dulu, mana yang milik rakyat, kalau mau dijadikan kawasan untuk usaha yang mana?” tanya Suraya dalam kuliah kebangsaan di FISIP UI, Senin,
Tak sampai di situ, Suraya juga mencecar Ganjar tentang paradigma negara dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terpaksa mengambil tanah rakyat. “Dapatkah paradigma negara dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terpaksa mengambil tanah rakyat tidak melanjutkan praktik Orde Baru, untuk kepentingan swasta, untuk dikuasai swasta, dan untuk kepentingan profit pengusaha swasta?” ucap Suraya.
Menjawab hal itu, Ganjar mengatakan bahkan di wilayah kepemimpinannya saat menjadi Gubernur Jawa Tengah, dia kerap berdebat dengan Kementerian Lingkungan Hidup terkait kepemilikan lahan. Dalam perdebatan itu, kata Ganjar, tiap pihak saling menunjukkan bukti buku tanah untuk menunjukkan siapa yang paling berhak
“Tapi yang di dalam kawasan bagaimana? Loh, tidak sulit, di-enclave saja, maka kita mengakui hak itu, bu. Yang kedua, ketika kemudian dalam pencatatan agraria yang paling modern, ya sertifikat, bu. Maka proses pensertifikatannya yang Ibu tadi katakan, ya. Tapi semua lamban, makanya ibu setuju kan kalau cepat?” jawab Ganjar dalam kuliah kebangsaan tersebut.
Pentingnya Peran Pemimpin yang Berkomitmen
Pada kesempatan tersebut, Ganjar kemudian bercerita kala dia pertama kali menjabat sebagai orang nomor satu di Jawa Tengah. Saat itu, dia meminta agar tidak ada korupsi di pemerintahannya dan akan memecat siapapun orang yang terlibat melakukan tindak pidana tersebut.
“Tadi mungkin ibu sampaikan, ya, niat baik aja enggak cukup pak. Tergantung leader, bu. Maka teori aktor tadi saya sampaikan. Aktornya commit enggak, commit atau komat kamit? Meyakinkan ini tidak mudah, bu. Tapi merunut dengan data, dengan bukti, mungkin itu akan membantu agar kita tidak pesimis menjadi bangsa ini ke depan. Pemimpin harus memberikan optimisme pada rakyatnya,” ucap Ganjar.
Ganjar menjelaskan, setelah teori aktor dan praktiknya berjalan baik, maka paradigma negara tentang mengakui kepemilikan lahan oleh warga dapat terjadi. Dia mengambil contoh pada kejadian di Blora, Jawa Tengah tentang praktik baik dari redistribusi tanah dari melalui sertifikat. Setelah sertifikat secara cepat diberikan, kata Ganjar, maka kemudian pengakuan itu bisa diberikan kepada masyarakat.
“Jadi dapatkah paradigma negara itu mengakui kepemilikannya dan bisa dimanfaatkan? Sangat dapat. Ini kan soal political will kan, willingness yang mesti dimiliki. Aktor sekali lagi, bu. Orang boleh bicara apa pun, tapi aktornya melakukan apa enggak,” ujar Ganjar.
Suraya kemudian menambahkan bagaimana tentang penggusuran yang terjadi kepada masyarakat. “Tapi yang menggusur rakyatnya bagaimana, Pak? Tambang, semua yang diberikan semua konsensinya menggusur,” tanya Suraya.
Menanggapi hal itu, Ganjar menjawab ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama adalah tidak melakukan apapun pada hal yang ada di daerah tersebut, dan yang kedua adalah melakukan sesuatu dengan dua cara lainnya.
“Satu ya karena kita mengakui kepemilikannya. Maka modelnya harus transaksi kan, betul enggak? Saya mau pakai, maka saya beli. Atau yang kedua, kamu terlibat di sini sebagai apa? Sebagai pemegang saham. Ada dua, atau kalau tidak, sudah kita pada pilihan pertama, tidak usah dieksploitasi. Itu saja pilihannya,” ucap Ganjar.
Mendengar jawaban tersebut, Suraya pun berdoa agar semoga Ganjar bisa melakukan hal-hal yang diucapkannya tersebut.