Di Indonesia, sumpah jabatan memiliki makna yang sangat sakral. Dalam tradisi dan hukum kita, sumpah tidak sekadar janji biasa; ia melibatkan Tuhan sebagai saksi tertinggi. Oleh karena itu, pelanggaran sumpah jabatan bukan hanya persoalan etika, tetapi juga spiritualitas dan hukum. Namun, apa yang kita saksikan dalam kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) adalah serangkaian tindakan yang menunjukkan ketidakkonsistenan terhadap sumpah jabatan yang ia ucapkan.
Pelanggaran Sejak Awal Karier Politik
Pelanggaran sumpah jabatan Jokowi sudah terlihat sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Solo. Ia meninggalkan masa jabatannya dua tahun sebelum selesai untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa sumpah untuk mengemban amanah hingga akhir masa jabatan dianggap tidak lebih dari formalitas. Ketika Jokowi terpilih menjadi Gubernur Jakarta, ia kembali membuat janji: akan menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur selama lima tahun penuh. Namun, janji itu hanya bertahan dua tahun sebelum ia mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dua kali dalam perjalanan politiknya, Jokowi telah melanggar sumpah jabatan. Ia berjanji untuk tunduk dan taat menjalankan hukum, tetapi dengan meninggalkan jabatannya sebelum masa tugas selesai, ia mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah memilihnya.
Pelanggaran pada Level Nasional
Ketika menjadi Presiden, pelanggaran sumpah jabatan Jokowi tidak berhenti. Sebagai kepala negara, ia bersumpah untuk memegang teguh konstitusi, tetapi faktanya, banyak kebijakan dan tindakan politiknya yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Contoh paling mencolok adalah dukungannya terhadap revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Kebijakan ini secara jelas bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu amanat konstitusi.
Selain itu, pengesahan sejumlah undang-undang kontroversial, seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law), dilakukan dengan proses yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Padahal, konstitusi menjamin hak rakyat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jokowi, dalam hal ini, tampak lebih memilih kepentingan elite dibandingkan amanat rakyat.
Sumpah Bukan Lip Service
Sumpah jabatan bukanlah lip service. Ia adalah komitmen suci yang melibatkan Tuhan dan rakyat sebagai saksi. Ketika seorang pemimpin melanggar sumpahnya, ia tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga mencederai moralitas kepemimpinan itu sendiri. Dalam konteks ini, tindakan Jokowi menjadi preseden buruk bagi generasi pemimpin berikutnya. Jika sumpah jabatan bisa dilanggar tanpa konsekuensi, bagaimana rakyat bisa percaya kepada pemimpin di masa depan?
Refleksi dan Harapan
Pelanggaran sumpah jabatan yang dilakukan Jokowi seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Rakyat Indonesia harus lebih kritis dalam memilih pemimpin dan menuntut akuntabilitas dari mereka yang diberi amanah. Sementara itu, bagi para pemimpin, sumpah jabatan harus dipandang sebagai ikatan moral dan spiritual yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Jokowi telah menunjukkan bahwa sumpah jabatan bisa dilanggar tanpa konsekuensi serius. Namun, kita sebagai rakyat tidak boleh membiarkan hal ini menjadi norma. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang setia pada sumpah, konsisten dalam tindakan, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Jika tidak, maka demokrasi kita hanya akan menjadi permainan para elite, jauh dari cita-cita keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.