Jokowi tiga kali melanggar Sumpah Jabatannya; Saat menjadi walikota Solo – tidak menuntaskan masa jabatannya, kemudian saat menjabat Gubernur Jakarta, Ia tingalkan. Dan tentu saja saat menjadi Presiden RI
Sumpah jabatan adalah pernyataan sakral yang mengikat seorang pemimpin dengan amanah yang diembannya. Dalam tradisi berbagai negara, sumpah ini menjadi momen penting yang menegaskan janji seorang pemimpin kepada rakyat dan konstitusi. Dalam praktiknya, sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan manifestasi dari tanggung jawab moral, hukum, dan spiritual.
Ketika Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, ia mengucapkan sumpah jabatan dengan tegas: “Saya bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan menjalankan tugas sebagai Presiden Amerika Serikat dengan penuh kesetiaan, serta menjaga, melindungi, dan membela Konstitusi Amerika Serikat sesuai kemampuan terbaik saya.” Ucapan ini, meskipun sederhana, sarat dengan komitmen terhadap konstitusi, tanpa menyebut nama Tuhan atau kitab suci, mencerminkan sekularitas yang menjadi dasar negara Amerika Serikat.
Berbeda dengan itu, Presiden Joko Widodo, dalam sumpahnya saat dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, memulai dengan, “Demi Allah,” di bawah naungan Al-Qur’an. Sumpah ini tidak hanya menyatakan komitmen terhadap konstitusi, tetapi juga menyiratkan janji kepada Tuhan, menegaskan akar religius bangsa Indonesia. Namun, janji ini menjadi persoalan ketika tindakan dan kebijakan pemimpin dinilai bertentangan dengan sumpah tersebut.
Persoalan Pelanggaran Konstitusi
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak menyinyalir bahwa kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi kerap melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Misalnya, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang dinilai tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai, melanggar prinsip demokrasi yang dijamin UUD 1945. Kebijakan ini juga menguras anggaran negara tanpa kejelasan manfaat langsung bagi rakyat banyak.
Selain itu, praktik nepotisme dalam pemerintahan yang melibatkan anggota keluarga dekat Presiden sering dianggap mencederai semangat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah sumpah yang diikrarkan di awal masa jabatan benar-benar dijalankan, atau hanya menjadi formalitas belaka?
Komparasi Makna Sumpah
Sumpah jabatan di Amerika Serikat lebih terfokus pada konstitusi sebagai panduan tertinggi. Dalam konteks ini, seorang presiden diikat oleh hukum dan mekanisme checks and balances yang ketat. Pelanggaran terhadap sumpah, seperti yang sering dituduhkan kepada Trump, segera mendapat respons dari legislatif, yudikatif, atau media massa. Proses impeachment terhadap Trump menjadi bukti bahwa sistem di sana aktif menjaga komitmen pemimpin terhadap sumpahnya.
Sebaliknya, di Indonesia, sumpah jabatan sering kali dianggap sakral karena melibatkan elemen religius. Namun, justru karena sifatnya yang spiritual, pelanggaran terhadap sumpah ini sering kali menjadi abu-abu. Kritik terhadap Presiden Jokowi, seperti lemahnya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela, menunjukkan bahwa sumpah yang diawali dengan “Demi Allah” tidak selalu sejalan dengan tindakan nyata. Ketidakmampuan sistem untuk menegakkan akuntabilitas sering kali memperburuk situasi.
Pentingnya Memaknai Kembali Sumpah Jabatan
Sumpah jabatan seharusnya menjadi pengingat akan tanggung jawab besar yang diemban seorang pemimpin. Pemimpin yang setia pada sumpahnya akan bekerja demi kepentingan rakyat dan menjunjung tinggi konstitusi, tanpa mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual.
Namun, makna sumpah ini bisa hilang jika sistem pengawasan lemah dan budaya politik lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Rakyat sebagai pemberi mandat harus terus mengawasi dan menuntut pemimpin untuk memenuhi janji yang telah diucapkan. Tanpa pengawasan yang ketat, sumpah jabatan hanya akan menjadi rangkaian kata tanpa makna.
Penutup
Sumpah jabatan, baik yang diucapkan dengan penuh sekularitas seperti di Amerika Serikat maupun yang disertai elemen religius seperti di Indonesia, pada hakikatnya adalah janji suci. Namun, kekuatan sumpah ini tidak terletak pada kata-kata yang diucapkan, melainkan pada konsistensi tindakan pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Ketika sumpah dilanggar, bukan hanya pemimpin yang kehilangan legitimasi, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap sistem pemerintahan.