Fusilatnews – Kementerian Agama sejak awal berdiri dimaksudkan menjadi benteng moral bangsa. Ia memegang mandat strategis: membina kehidupan beragama, menjaga kerukunan umat, hingga mengelola salah satu ibadah paling sakral dalam Islam, yakni haji. Namun, alih-alih tampil sebagai teladan akhlak, kementerian ini justru berulang kali menjadi ladang korupsi. Paradoks inilah yang menampar wajah publik: lembaga yang seharusnya memuliakan agama justru berkali-kali memperdagangkannya.
Jejak Hitam yang Panjang
Kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan 2024 hanyalah bab terbaru dalam sejarah kelam Kemenag. Nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kini terseret dalam penyidikan KPK terkait alih kuota haji tambahan 20 ribu yang sebagian besar dialihkan ke jalur haji khusus. Dugaan jual beli kuota itu membuat negara berpotensi rugi hingga Rp 1 triliun, sementara ribuan calon jemaah reguler makin panjang antreannya.
Namun, kisah ini bukan kali pertama Kemenag dipermalukan. Sejarah menunjukkan pola berulang: dari dana haji, pengadaan kitab suci, hingga jual beli jabatan.
- Said Aqil Munawar (2004)
Pada masa Presiden Megawati, Menag Said Aqil Munawar dijadikan tersangka dalam kasus penyimpangan dana haji Rp 700 miliar. Meski kemudian bebas, kasus ini menorehkan noda bahwa urusan haji—ibadah suci umat—sudah lama menjadi bancakan elite. - Suryadharma Ali (2014)
Sepuluh tahun kemudian, sejarah berulang. Menag era SBY, Suryadharma Ali, divonis 10 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana haji. Ia menyalahgunakan fasilitas haji, memanipulasi kuota, bahkan mengakomodasi kepentingan keluarganya. - Kasus Pengadaan Al-Qur’an (2013)
Lebih ironis lagi, proyek pengadaan mushaf Al-Qur’an pun tidak luput dari praktik korupsi. Politisi Golkar Zulkarnaen Djabar bersama anaknya, Dendy Prasetya, terbukti menerima suap terkait proyek pengadaan Al-Qur’an dan laboratorium komputer madrasah di Kemenag. Zulkarnaen divonis 15 tahun, Dendy 8 tahun. Kitab suci yang mestinya dimuliakan justru diperdagangkan dengan cara kotor. - Lukman Hakim Saifuddin (2019)
Meski tidak dijerat langsung, nama Menag Lukman Hakim Saifuddin ikut terseret dalam kasus suap jual beli jabatan yang menjerat Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Persidangan mengungkap adanya praktik transaksional di lingkungan Kemenag yang mencoreng kredibilitas institusi. - Yaqut Cholil Qoumas (2025)
Kini, Yaqut—yang pernah tampil sebagai tokoh muda progresif—malah harus menghadapi penyidikan KPK terkait dugaan jual beli kuota haji tambahan 2024. Penyidik sudah menyita USD 1,6 juta (sekitar Rp 26 miliar), empat unit mobil, dan lima bidang tanah. Publik pun bertanya: apakah kasus ini akan dituntaskan, atau justru dibiarkan redup seperti banyak kasus besar lain?
Tambahan Kuota ala Jokowi yang Jadi Petaka
Ironinya, tambahan kuota haji 20 ribu pada 2024 sejatinya diumumkan Presiden Joko Widodo dengan penuh kebanggaan. Ia mengklaim keberhasilan diplomasi dengan Arab Saudi yang membawa “kabar gembira” bagi umat Islam Indonesia. Namun realitas yang terjadi justru sebaliknya: separuh dari kuota tambahan itu dialihkan secara melawan aturan ke jalur haji khusus.
Artinya, kuota yang seharusnya meringankan antrean panjang jemaah haji reguler malah diperdagangkan untuk keuntungan segelintir orang. “Prestasi diplomasi” Jokowi berubah menjadi “prestasi ironi”: hadiah kuota dari luar negeri justru menjadi pintu masuk korupsi di dalam negeri.
Di titik ini, kritik tak bisa hanya berhenti pada Kemenag. Jokowi pun tak bisa lepas tangan. Ia yang mengumumkan tambahan kuota itu, ia pula yang mestinya memastikan distribusinya sesuai aturan. Ketika kuota tersebut justru menjadi bancakan, publik berhak menilai bahwa Jokowi gagal mengawal amanah yang sangat vital ini.
Agama yang Diperdagangkan
Jika ditarik benang merah, jelas bahwa kasus-kasus korupsi di Kemenag bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari kultur yang mengakar. Haji dijadikan komoditas, kitab suci dijadikan proyek, jabatan dijadikan barang dagangan. Semua berlangsung di kementerian yang semestinya menjaga martabat agama.
Inilah paradoks moralitas yang paling telanjang: ketika panji akhlak hanya dipakai sebagai selubung, sementara di baliknya praktik kotor berjalan tanpa malu. Bagi umat, haji adalah perjalanan spiritual seumur hidup. Bagi pejabat Kemenag, kuota haji bisa berubah menjadi alat transaksi.
Mengakhiri Siklus
Setiap kali kasus baru muncul, publik marah, kecewa, lalu perlahan lupa. Inilah yang membuat siklus hitam ini terus berulang dari Said Aqil Munawar hingga Yaqut Cholil Qoumas, dari Megawati hingga Jokowi.
Jika bangsa ini ingin menghentikan paradoks tersebut, maka dua hal harus dilakukan: pertama, membongkar secara tuntas semua praktik korupsi di Kemenag tanpa pandang bulu; kedua, mereformasi sistem pengelolaan haji agar lebih transparan dan jauh dari campur tangan politik.
Karena bila korupsi sudah menyentuh urusan ibadah, maka sesungguhnya bangsa ini bukan hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan nurani.























