Fusilatnews – Pernyataan Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang menegaskan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak terlibat dalam dugaan korupsi kuota haji tahun 2024, menimbulkan polemik tersendiri. Di satu sisi, pernyataan itu adalah sikap resmi lembaga—penegasan normatif tentang komitmen terhadap hukum dan antikorupsi. Namun, di sisi lain, keyakinan sebagian kalangan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan masyarakat luas justru mulai goyah karena adanya indikasi bahwa aliran dana terkait kuota haji menyentuh lingkungan elite ormas Islam terbesar ini.
Gus Ipul memang menyatakan bahwa PBNU “sama sekali tidak ikut dalam proses pembagian kuota haji maupun pembagian lainnya.” Namun, pernyataan ini menjadi problematis ketika realitas politik dan struktur sosial NU yang sangat cair memperlihatkan bahwa garis batas antara “lembaga” dan “personel” sering kali kabur. Apalagi, seperti diketahui, banyak tokoh kunci di Kementerian Agama dan pengelolaan kuota haji berasal dari kalangan NU—beberapa bahkan adalah mantan atau aktifis struktural PBNU.
Ketika Keterlibatan Individual Menjadi Keterlibatan Struktural
Beberapa tokoh senior NU, secara informal, mengakui bahwa jalur distribusi kuota haji, terutama kuota tambahan, kerap kali melibatkan lobi-lobi politik yang tidak sepenuhnya transparan. Salah satu tokoh NU di Jawa Timur yang enggan disebut namanya mengatakan, “Kalau dibilang PBNU tidak tahu sama sekali, saya rasa tidak jujur. Mungkin secara institusi tidak terlibat, tapi tokoh-tokohnya ya tahu, bahkan ada yang ikut atur.“
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah mungkin PBNU tidak mengetahui sama sekali adanya aliran dana atau manipulasi kuota, jika sejumlah pengurus atau eks pengurus mereka terlibat langsung dalam proses teknis pembagian kuota haji?
Pernyataan Gus Ipul seakan ingin memisahkan antara institusi dan individunya. Namun, dalam konteks sosial-politik Indonesia, terutama dalam jaringan ormas keagamaan seperti NU, pembelahan itu tidak selalu valid. Nama besar PBNU sering dipakai untuk melegitimasi berbagai keputusan, termasuk lobi-lobi politik yang mungkin sarat kepentingan.
Komitmen Antikorupsi: Retorika atau Realitas?
Gus Ipul juga menyatakan bahwa PBNU “mendukung penuh upaya Presiden Prabowo dalam memberantas korupsi,” serta “menghormati langkah KPK dalam mengusut berbagai dugaan korupsi, kepada siapapun, tanpa pandang bulu.” Namun, hingga kini, ketika KPK mulai menyebut bahwa mereka telah mengantongi “beberapa nama”, tidak ada langkah proaktif dari PBNU untuk mengaudit internal atau mengevaluasi kemungkinan keterlibatan individu yang menjabat dalam struktur mereka.
Ini memunculkan kesan bahwa pernyataan dukungan terhadap pemberantasan korupsi hanyalah retorika politik. Tanpa langkah konkret dan transparan, komitmen tersebut akan terlihat sebagai upaya menjaga citra, bukan refleksi dari integritas moral organisasi keagamaan.
Menanti Transparansi, Bukan Sekadar Klarifikasi
Jika PBNU benar-benar tidak terlibat, maka langkah terbaik bukan sekadar menyatakan tidak tahu-menahu. PBNU seharusnya mengambil langkah lebih berani: membuka audit internal, mengklarifikasi posisi tokoh-tokoh yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, serta menjalin komunikasi terbuka dengan KPK—bukan menunggu dipanggil.
Lebih dari itu, PBNU perlu menyadari bahwa kepercayaan umat terhadap organisasi tidak hanya dibangun dari pernyataan resmi, tetapi dari sikap proaktif dalam menghadapi krisis moral seperti dugaan korupsi. Dalam sejarahnya, NU selalu menjadi garda moral bangsa. Maka, ketika moralitas itu sendiri dipertanyakan, diam dan klarifikasi normatif bukanlah jawaban.
Penutup: Tantangan Besar Bagi PBNU
Dugaan korupsi kuota haji tahun 2024 bukan hanya soal uang, tetapi soal integritas dan etika publik. Jika terbukti bahwa individu dalam lingkaran PBNU terlibat, maka mau tidak mau, organisasi ini harus berani introspeksi. Menyangkal tanpa menyelidiki hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan umat.
PBNU dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bermain aman dalam zona retorika atau berani tampil sebagai organisasi yang benar-benar menjunjung nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, meskipun itu berarti harus membuka borok sendiri.
























