Fusilatnews – Di dunia modern, semakin banyak penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa merokok adalah kebiasaan yang merusak. Dari segi kesehatan, ekonomi, hingga sosial, merokok tidak memberikan satu pun manfaat yang nyata—bahkan justru membawa kerugian besar. Namun, pertanyaan besar yang kerap muncul adalah: mengapa rokok tidak difatwakan haram, sebagaimana khamar atau narkotika?
Merokok dan Ketiadaan Manfaat
Al-Qur’an menegaskan bahwa sesuatu yang diharamkan biasanya karena tidak memiliki manfaat, atau jika ada, manfaatnya tidak sebanding dengan mudaratnya. Dalam kasus rokok, nyaris tidak ditemukan manfaat yang bisa menandingi bahaya yang ditimbulkannya.
- Kesehatan: Asap rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya, termasuk tar dan nikotin. Rokok terbukti menjadi penyebab utama kanker paru, penyakit jantung, dan berbagai gangguan pernapasan. Bahkan perokok pasif—orang yang tidak merokok namun menghirup asapnya—ikut menanggung risikonya.
- Ekonomi: Rokok menguras pendapatan rumah tangga. Banyak keluarga miskin yang lebih memilih membeli rokok ketimbang kebutuhan primer seperti makanan bergizi atau pendidikan anak. Di sisi lain, biaya kesehatan negara meningkat tajam akibat penyakit terkait rokok.
- Sosial: Rokok melahirkan ketidakadilan sosial. Perokok merasa bebas merokok di ruang publik, sementara orang lain dipaksa menghirup asap beracun. Itu bentuk pelanggaran hak orang lain yang seharusnya dilindungi.
Dengan demikian, dari semua sudut pandang, rokok hanya membawa kerugian.
Mengapa Tidak Diharamkan?
Pertanyaan menggelitik muncul: jika rokok begitu berbahaya, mengapa ulama masih berbeda pendapat dan tidak sepakat mengharamkannya secara mutlak? Ada beberapa alasan:
- Aspek Historis: Pada awal masuknya rokok ke dunia Islam, bahaya medisnya belum diketahui. Rokok hanya dipandang sebagai kebiasaan baru, bukan zat memabukkan yang jelas diharamkan seperti khamar.
- Dalil Tekstual: Dalam Al-Qur’an dan hadis, tidak ada penyebutan eksplisit tentang rokok. Maka ulama menggunakan kaidah umum, seperti “janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Sebagian ulama menilai ayat ini cukup untuk menghukumi rokok sebagai makruh, bukan haram.
- Faktor Sosial-Ekonomi: Industri rokok menjadi penyumbang pajak besar di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia. Tidak sedikit ulama yang berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa haram karena konsekuensinya menyentuh aspek ekonomi dan nasib jutaan pekerja.
- Perbedaan Penafsiran: Sebagian ulama berargumen bahwa rokok tidak memabukkan, sehingga tidak bisa disamakan dengan khamar. Namun ulama lain menilai bahwa rokok termasuk dalam kategori kullu mudhirin haram (segala yang membahayakan adalah haram).
Saatnya Bersikap Tegas
Jika ditimbang ulang dengan pengetahuan medis modern, alasan untuk tidak mengharamkan rokok semakin lemah. Prinsip la dharar wa la dhirar (tidak boleh menimbulkan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain) seharusnya cukup untuk menjadikan rokok haram. Sama seperti narkotika, rokok tidak membuat mabuk dalam arti hilang akal, tetapi jelas merusak tubuh dan mengancam kehidupan.
Dengan demikian, fatwa haram terhadap rokok bukan hanya mungkin, melainkan mendesak demi menjaga maqashid syariah—tujuan syariat Islam—yakni menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga harta (hifzh al-mal), dan menjaga akal (hifzh al-‘aql).
Penutup
Merokok tidak memiliki satu pun manfaat yang bisa membenarkan eksistensinya. Ia merusak tubuh, menggerogoti ekonomi, dan merampas hak orang lain. Perbedaan pandangan ulama mungkin bisa dimaklumi pada masa lalu, ketika ilmu pengetahuan belum sejelas sekarang. Namun di era modern, sudah seharusnya umat Islam memandang rokok sebagai barang haram—setara dengan khamar atau narkotika—karena jelas mudaratnya jauh melampaui manfaatnya.























