Nampaknya, sebagian pihak masih belum benar-benar memahami esensi dari pendirian koperasi. Gagasan koperasi dalam sejarahnya bukanlah sekadar cara untuk “mengisi waktu luang” para pengangguran atau wadah bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan kewirausahaan. Koperasi adalah bentuk perlawanan struktural rakyat terhadap dominasi modal besar, bentuk nyata dari ekonomi solidaritas yang dibangun dari bawah oleh masyarakat yang ingin mengambil alih kendali atas alat-alat produksinya. Namun, ketika koperasi justru dibayangkan dan dijalankan oleh orang-orang yang tidak memiliki bekal dasar kewirausahaan, hanya sebagai “pengisi aktifitas sisa hidup”, maka kita telah melenceng dari semangat koperasi itu sendiri.
Pemerintah saat ini tengah menggodok rencana besar: membentuk 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Di atas kertas, inisiatif ini terdengar menjanjikan. Koperasi Merah Putih akan difungsikan sebagai distributor LPG 3 kg, penyalur pupuk subsidi, dan bahkan unit usaha seperti apotek desa dan cold storage. Wakil Menteri Pertanian sekaligus Ketua Dewan Pembina Papdesi, Sudaryono, menyampaikan bahwa keinginan Presiden Prabowo Subianto adalah agar koperasi ini tidak sekadar berdiri, tetapi juga beroperasi secara aktif melalui unit usaha wajib.
Namun, pernyataan tersebut justru menunjukkan kebingungan yang mendalam: jika koperasi diberi “mandat” usaha dari atas, disuruh menjual ini dan itu, lalu diorganisasi secara terpusat, bukankah ini justru mengubah koperasi menjadi semacam BUMN skala desa? Di mana letak partisipasi warga? Di mana peran pemilik koperasi sebagai pengambil keputusan utama? Dalam logika koperasi, kekuasaan tertinggi ada pada anggota, bukan pada pejabat negara.
Lebih jauh lagi, menghadapkan koperasi—yang dibentuk dari lapisan masyarakat terbawah—dengan para pelaku usaha sektor privat dan BUMN, tanpa perlindungan yang memadai, adalah tindakan tidak adil. Koperasi-koperasi itu harus bersaing di pasar bebas yang dipenuhi konglomerasi, jaringan distribusi besar, dan kapital kuat. Sementara mereka sendiri belum tentu memiliki literasi keuangan, pengetahuan pasar, apalagi modal awal.
Konsep koperasi sejatinya adalah membentuk “blokade ekonomi” terhadap praktik-praktik pasar yang eksploitatif. Ia adalah alat kolektif rakyat untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari dominasi kapital, bukan semata instrumen distribusi pupuk atau LPG. Ketika koperasi dipaksa untuk menjadi distributor program pemerintah tanpa memperhatikan kesiapan sumber daya manusianya, maka koperasi hanya menjadi kepanjangan tangan birokrasi—bukan alat pemberdayaan masyarakat.
Prabowo, melalui Sudaryono, tampaknya ingin memotong mata rantai distribusi yang panjang dan menyulitkan rakyat. Tujuan ini patut diapresiasi. Namun cara mencapainya tidak bisa hanya dengan memerintah dan memaksa koperasi untuk menjalankan peran-peran negara. Koperasi harus dibina, dididik, dan dibesarkan—bukan sekadar dibentuk lalu dibebani tugas.
Mendirikan koperasi tanpa semangat dan pemahaman kolektif sama halnya dengan membangun rumah tanpa fondasi. Koperasi tidak bisa sekadar menjadi proyek, ia harus menjadi proses. Sebab koperasi bukan hanya tentang barang yang dijual murah, tapi tentang kesadaran yang dibangun bersama—bahwa kita bisa berdikari, tanpa harus menjadi kapitalis.