Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews.com – Perseteruan M Azhari, mahasiswa Universitas Islam Jakarta dengan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) adalah kisah David yang kecil dan lemah versus Goliath yang besar dan perkasa. Apalagi setelah Bamsoet dan para pendukungnya “mengeroyok” Azhari.
Diketahui, Azhari melaporkan pelanggaran etik yang diduga dilakukan Bamsoet ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Kamis (6/6/2024). Pasalnya, Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menyatakan semua partai politik telah bersepakat untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Salah satu tujuan amandemen adalah untuk mengubah sistem pemilihan presiden dari langsung oleh rakyat ke tak langsung oleh MPR.
Dua pekan berselang, Kamis (20/6/2014), Bamsoet dipanggil MKD untuk diklarifikasi. Namun, dengan dalih surat panggilan diterima mendadak, mantan Ketua DPR itu mangkir dari panggilan MKD.
MKD pun meradang. MKD akan kembali memanggil Bamsoet hingga tiga kali. Bahkan ada anggota MKD yang mengusulkan agar mantan Ketua Komisi III DPR itu dipanggil paksa dengan bantuan petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR.
Belakangan, Bamsoet yang juga Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI-Polri (FKPPI) mengaku akan menghadiri panggilan MKD dalam sidang berikutnya.
Akan tetapi, sebelum hadir di MKD, muncullah pihak-pihak yang membela Bamsoet yang juga Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila itu bahkan terkesan “mengeroyok” Azhari. Intinya, mereka menyalahkan pelaporan oleh Azhari di satu pihak, dan membenarkan ketidakhadiran Bamsoet ke MKD di lain pihak.
Adapun Bamsoet sendiri menilai laporan Azhari ke MKD itu tidak tepat dan menjurus kepada penyebaran berita bohong atau hoaks, cenderung menyerang kehormatan Pimpinan MPR, serta bertentangan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016).
Bamsoet mengklaim tidak pernah menyatakan seluruh partai politik setuju untuk melakukan amandemen UUD 1945. Menurut dia, pernyataan soal itu sebetulnya diawali kata “kalau/jika”. Artinya, dia tidak pernah melangkahi wewenang partai politik terkait wacana amendemen konstitusi.
Para Pembela
Sementara itu, sejumlah pihak berusaha membela Bamsoet. Yang pertama adalah Masinton Pasaribu, anggota Komisi III DPR yang kini telah berpindah ke Komisi VI DPR. Politikus PDI Perjuangan itu menilai ketidakhadiran Bamsoet ke MKD sudah tepat.
Masinton berdalih, MKD tak berwenang memeriksa Bamsoet karena pelontaran wacana amandemen UUD 1945 itu bagian dari tugas Ketua MPR sebagai juru bicara lembaga.
Ia merujuk ketentuan Pasal 81 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), di mana kewenangan MKD dibatasi hanya menyangkut kewajiban pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR.
Berikutnya adalah Ketua Umum Generasi Muda (GM) FKPPI Sandi Rahmat Mandela. Ia menilai, keputusan Bamsoet untuk tidak menghadiri sidang MKD merupakan langkah yang tepat. Hal itu, katanya, menunjukkan sikap kenegarawanan Bamsoet yang menaati peraturan perundang-undangan.
Sandi menyatakan, MPR merupakan lembaga negara yang terdiri atas anggota DPR dan DPD. Karenanya, MKD tidak memiliki wewenang yang cukup untuk meminta klarifikasi dari pimpinan atau anggota MPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang mewakili institusinya.
Seperti Masinton, Sandi Rahmat pun merujuk ketentuan Pasal 81 UU MD3 bahwa kewenangan MKD hanya mencakup pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Karena itu, permintaan klarifikasi MKD terkait pernyataan Bamsoet dalam kapasitasnya sebagai pimpinan MPR ia nilai sangat tidak relevan dan kontraproduktif dengan undang-undang.
Lalu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila Hari Purwanto. Ia mendukung Bamsoet yang tidak hadir memenuhi panggilan MKD yang ia nilai sudah tepat.
Pun, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Keluarga Angkatan Darat (HIPAKAD) Hariara Tambunan. Ia menilai ketidakhadiran Bamsoet di sidang MKD sudah sangat tepat dan sesuai aturan yang berlaku.
Entah politikus dan ormas apa lagi yang mau membela Bamsoet. Yang jelas, dasar hukum pembelaan yang mereka sampaikan sama, yakni Pasal 81 UU MD3. Apa semua memang sudah diseting sedemikian rupa?
Kita tidak tahu pasti. Seperti kita juga tidak tahu pasti siapa yang akan keluar sebagai pemenang, apakah Azhari seumpama David atau Bamsoet seumpama Goliath.
Jika yang menang Azhari, berarti MKD menyatakan Bamsoet melanggar kode etik anggota DPR. Sebaliknya jika yang menang Bamsoet, berarti politikus berlatar pengusaha itu dinyatakan MKD tidak melanggar kode etik.
Kita juga tidak tahu pasti apakah Bamsoet akan menuntut balik Azhari secara hukum, atau memindahkan arena pertempuran dari arena politik (MKD) ke arena hukum (pengadilan).
Yang jelas, jika Azhari benar-benar seperti David yang membela kebenaran, maka meskipun kecil dan lemah, ia tak akan terkalahkan oleh Bansoet yang ibarat Goliath yang besar dan perkasa.
Alhasil, meskipun kebohongan berlari begitu kencang, namun pada akhirnya kebenaran akan dapat mengejarnya bahkan melampauinya.