Pendahuluan
Sesuai ketentuan sistem hukum, Mahkamah Agung RI (MARI) telah menerima permohonan judicial review (JR) terhadap PKPU Nomor 9 Tahun 2020 atas dasar Pasal 9 UU RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khususnya, JR yang diajukan oleh Partai Garuda, sehingga sah bagi MARI menerima pendaftaran terhadap uji materi a quo. MARI memiliki kewenangan hukum untuk merevisi, merubah, atau membatalkan peraturan di bawah level undang-undang, termasuk pasal-pasal atau ayat-ayat dalam PKPU.
Putusan Cacat Konstitusi
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) patut diduga menerima sesuatu yang berharga untuk “Melahirkan Anak Haram Konstitusi Jilid Dua” dari pihak-pihak yang tidak jelas serta tidak bertanggung jawab dengan menunggangi eksistensi daripada uji materiil (judicial review) yang diajukan oleh Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) dengan nomor register 23 P/HUM/2024. Permohonan tersebut mengajukan aturan batas minimal usia calon kepala daerah, tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Fakta hukumnya, objek uji materi a quo merupakan Undang-Undang RI (UU RI) Nomor 10 Tahun 2016. Oleh sebab itu, objek permohonan bukan kompetensi atau kewenangan MARI karena objek uji materi bukan berada di bawah undang-undang.
MARI Melakukan Agresi Konstitusi
Pertanyaan logika hukumnya adalah bagaimana bisa MARI merubah UU a quo yang tidak berada dalam yurisdiksi atau kompetensinya. Menurut hukum, UU tersebut bukan yurisdiksi MARI untuk diadili, berdasarkan Pasal 9 UU RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Putusan MARI yang memerintahkan KPU untuk merubah isi PKPU (pokok perkara uji materi) melanggar sistem hirarkis UU. Implikasi hukumnya adalah peraturan KPU (PKPU) menjadi tumpang tindih dan menyimpang dari ketentuan yang berada di atasnya. Hal ini menunjukkan kelucuan dan kejahatan luar biasa MARI yang seharusnya menjadi garda terakhir atau gerbang terakhir pengadilan.
Putusan MARI a quo berbunyi:
“Bahwa, Pasal 4 PKPU No. 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur’ dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”
Idealnya Putusan Sesuai Kepatutan
Seharusnya, setelah menerima dan mempelajari berkas permohonan uji materi (JR) a quo secara teliti dan akuntabel, objektif, serta profesional, MARI menemukan bahwa pasal PKPU a quo yang menjadi objek permohonan uji materi merujuk dan berkesesuaian dengan UU RI Nomor 10 Tahun 2016.
MARI seharusnya segera memutus dan menyatakan dalam putusannya, “menolak permohonan yang diajukan oleh Pemohon Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda), oleh sebab hukum, materi atau objek permohonan yang diajukan merujuk kepada Undang-Undang RI. Sehingga objek uji materi bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung RI, melainkan kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi.”
Jika permohonan (gugatan) uji materi dikabulkan, maka orang yang belum berusia 30 tahun pada saat pencalonan pilkada Gubernur atau Wakil Gubernur saat dicalonkan akan memanfaatkan putusan tersebut. Misalnya, jika Kaesang Pangarep Bin Joko Widodo memanfaatkannya, maka dia adalah embrio Anak Haram Konstitusi Jilid Dua, mengikuti julukan Anak Haram Konstitusi Jilid Pertama yang melekat kepada Gibran Rakabumi Raka Bin Joko Widodo. Hakim yang terbukti menerima sogokan dapat diancam 12 tahun penjara berdasarkan Pasal Nepotisme dan UU RI No. 28 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Bebas dari KKN, serta Pasal 420 KUHP (UU RI No. 1 Tahun 1946) dengan ancaman hukuman 9 sampai 12 tahun penjara.
Historis Hukum
Pada era kepemimpinan Jokowi, Mahkamah Agung RI dinyatakan oleh publik masyarakat hukum (pakar, akademisi, praktisi, dan para aktivis hukum) sebagai salah satu sarang atau pusat bandit nepotisme yudikatif di republik ini yang kedua, setelah Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan & Penutup
Oleh karena dalil hukum, Presiden RI secara transparan telah ikut serta melakukan disobedience atau pembiaran (Pasal 421 KUHP) selain melanggar Good Governance (Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999) terkait nepotisme dengan ancaman 12 tahun penjara. Modus operandi pembiaran ini mengakibatkan berulangnya pelanggaran konstitusi. Menurut perspektif dan logika hukum, keterlibatan Jokowi dalam praktik nepotisme sangat kental.
Jika seorang kepala negara ditengarai oleh rakyatnya sebagai pelanggar sistem konstitusi dan bukan sebagai suri tauladan atau role model bagi rakyatnya, terlebih dengan adanya dugaan bahwa Jokowi memiliki ijazah palsu S.1 dari UGM dan banyak sekali ditemukan kebohongan dalam janji-janji politiknya, maka idealnya penguasa atau presiden seperti Jokowi harus direvolusi atau dilengserkan dari kursi jabatannya sesuai konstitusi. Makna sistem hukum adalah bahwa “kedaulatan negara berada di tangan rakyat” serta adagium bahwa hukum tertinggi adalah demi melindungi rakyatnya.