Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews. – Dalam kasus penguntitan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, Jaksa Agung St Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinilai tidak transparan.
“Manajemen organisasi dan tata kerja Kepolisian RI di era Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sering muncul masalah besar, terkait dengan perilaku oknum polisi yang berada pada unsur utama struktur Mabes Polri, terutama pada satuan pelaksana yang bekerja di luar struktur organisasi Polri yang ada,” kata Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus SH kepada Fusilatnews.com di Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Sebagai contoh, kata Petrus, “Satgasus Merah Putih” bentukan Kapolri saat dijabat Tito Karnavian pada 2019, merupakan organ nonstruktural dengan misi khusus melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang menjadi “atensi pimpinan Polri” untuk kasus-kasus tertentu, kemudian Satgasus ini dibubarkan ketika Ferdy Sambo terkena kasus pembunuhan.
Hal berbeda, kata Petrus, terjadi pada peristiwa penguntitan terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah beberapa waktu lalu, yaitu pelakunya bukan berasal dari organ nonstruktural sebagaimana Satgasus Merah Putih, melainkan organ struktural pada unsur utama struktur Mabes Polri, yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror) wilayah Jawa Tengah, itu pun konon dilakukan di luar perintah, pengetahuan dan kendali Kepala Densus 88.
“Kondisi demikian jelas merusak soliditas kerja tim dalam unsur utama struktur Mabes Polri terutama pada satuan pelaksana di struktur masing-masing yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan publik pada institusi Polri, terutama kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit sehingga nantinya memberi beban berat pada Kapolri berikutnya,” jelasnya.
Secara struktur dan sistem organisasi kepolisian, kata Petrus, mestinya tidak boleh ada unsur pelaksana khusus nonstruktural di luar unsur pelaksana yang sudah ada, juga tidak boleh menggunakan unsur pelaksana yang struktural, untuk misi di luar tugas utama sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), sebagaimana Densus 88 “diperintah” melakukan pembuntutan terhadap Jampidsus, tapi Kadensus 88 tidak mengetahui.
“Ini jelas di luar tupoksi Densus 88, sehingga menimbulkan kegaduhan dan bahkan berpotensi menjadi perstiwa pidana, menyangkut merintangi tugas Jampidsus, dari mana biaya sewa rumah untuk penguntitan di Cipete Raya, apakah menggunakan anggaran rutin Polri? Ini semua harus jelas agar tidak terjadi dusta di antara kedua lembaga penegak hukum ini,” cetusnya.
Penyalahgunaan
Kegiatan penguntitan oleh beberapa anggota Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah, kata Petrus, hingga saat ini belum dijelaskan apa motivasinya, atas perintah atau penugasan dari struktur Mabes Polri yang mana, apakah dari Kadensus 88 atau atas inisiatif sendiri, semuanya masih ditutup-tutupi, tanpa penjelasan resmi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Meskipun antara Jaksa Agung dan Kapolri sudah dipertemukan di Istana disertai kesepakatan bahwa persoalan pembuntutan dan penguntitan Jampidsus telah selesai dan dijadikan sebagai persoalan antar-lembaga yang ‘sudah tidak ada masalah’, namun hingga sekarang nama Densus 88 dipertaruhkan tanpa ada pelurusan,” tukasnya.
Padahal, lanjut Petrus, justru di sinilah permasalahan yang sesungguhnya “terkubur”, yaitu penggunaan organ struktural Densus 88 untuk misi yang bukan menjadi tugas utama Densus 88, bahkan di luar perintah Kadensus 88, sehingga berpotensi menjadi suatu tindak pidana yaitu “obstruction of justice” (perintangan penyidikan), sehingga diperlukan suatu proses hukum untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
“Pada penyelesaian model Menko Polhukam dengan menggandeng tangan Kapolri dan Jaksa Agung di tangga Istana, tanpa klarifikasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa Febrie Adriansyah dikuntit dan mengapa dikuntit oleh anggota Densus 88, siapa yang perintahkan, ini harus diperjelas,” tegasnya.
Timbul pertanyaan, kata Petrus, apakah penguntitan oleh anggota Densus 88 terhadap Jampidsus dimaksud dalam rangka kontrol publik atas pelaksanaan tugas Jampidsus karena sedang menangani kasus megakorupsi di PT Timah Tbk, atau ini sebuah tindakan “obstruction of justice” yang dilakukan oleh Densus 88? “Inilah yang publik ingin tahu karena memang hak publik untuk tahu,” ucapnya.
“Di sini baik Kapolri maupun Jaksa Agung tidak fair dan tidak transparan kepada publik, karena bagaimana pun peristiwa penguntitan terhadap Febrie Adriansyah, Jampidsus oleh anggota Densus 88 sudah menjadi isu publik, apalagi memunculkan institusi Densus 88 sebagai salah satu unsur utama satuan pelaksana dalam struktur Mabes Polri yang sangat prestisius karena berbagai sukses besar yang dicapai Densus 88 dalam tugas pemberantasan terorisme di Indonesia,” paparnya.
Menghina Kecerdasan Publik
Petrus menilai Presiden Jokowi, Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, Jaksa Agung St Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mempertontonkan betapa buruknya sajian model penyelesaian masalah tersebut oleh pejabat tinggi negara di depan publik, seakan-akan publik bisa dikecoh dengan model penyelesaian yang meremehkan kecerdasan publik dan hak publik untuk tahu hal yang sebenarnya terjadi.
“Setidaknya sampai hari ini tidak pernah ada penjelasan transparan dari otoritas yang berwenang baik Kapolri, Jaksa Agung maupun Menko Polhukam tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini dan bagaimana bentuk penyelesaiannya. Meski Presiden Jokowi juga meminta agar kasus penguntitan ini segera dievaluasi tuntas oleh kedua intansi tersebut, namun hingga saat ini tidak juga berujung kejelasan bagi publik, sementara nama Densus 88 sudah cenderung menjadi bulan-bulanan media,” sesalnya.
“Penyelesaian sumir dan gelap dengan bersalam-salaman, berpelukan dan bergandengan tangan antara Kapolri, Jaksa Agung dan Menko Polhukam sembari menegaskan tidak ada masalah, hal itu merupakan sebuah aksi manipulasi yang telah menghina kecerdasan publik seolah-olah tidak ada masalah serta mengandaikan publik sebagian besar adalah pandir,” terangnya.
Lindungi Backing, Korbankan Densus
Pola penyelesaian di Istana ini dinilai Petrus malah memunculkan kecurigaan publik tentang banyak hal yang tengah ditutup-tutupi di balik peristiwa ini, antara lain yang luas beredar adalah ada gesekan kepentingan para mafia tambang yang di-backing-i oleh oknum masing-masing institusi yang sudah berurat-berakar lama.
“Belakangan kian diperjelas dengan adanya ‘proxi’ yang diduga berasal dari institusi Polri ikut ‘menggoreng’ kasus ini, dengan aksi “drone berputar-putar” di gedung Kejaksaan Agung, ada patroli pengamanan di sekitar Kejagung, hingga bermunculan “akrobat” dari Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) dan IPW (Indonesian Police Watch) yang melaporkan Jampidsus ke KPK, yang seolah mengatasnamakan kepentingan masyarakat, ” urainya.
Pelaporan KSST dan IPW ke KPK ini, masih kata Petrus, kian memperjelas bahwa sesungguhnya ada masalah besar yang tengah ditutup-tutupi, sehingga diperlukan manuver untuk dimainkan oleh “pemain-pemain tambahan” dari luar lapangan untuk ikut cawe-cawe dan menggeser “serangan” tidak saja melalui media pers dan media sosial, tapi juga lebih jauh ke halaman KPK.
“Penangan kasus dugaan korupsi di PT Timah Tbk dengan mengungkap banyak pelaku dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp300 triliun lebih, berdampak buruk yang menjadikan Polri dan KPK ‘nyungsep’ di comberan, sementara nama Kejaksaan malah melambung tinggi di publik dan menjadi bintang idola. Polri dicurigai sebagai backing para mafia bahkan sebagai pihak yang disebut-sebut sebagai penerima manfaat dari hasil kejahatan di bidang sumber daya alam,” tandasnya.