FusilatNews – Gejala stres berat bukan hanya tercermin dari perilaku yang berubah, tetapi juga dari perubahan fisik yang mencolok. Pada diri Joko Widodo — yang oleh sebagian kalangan kini getir menyebutnya “presiden-presidenan” — tanda-tanda itu tampil semakin gamblang. Rambut yang rontok dan menipis dengan cepat, kerutan yang memborasi wajah dalam hitungan bulan, tubuh yang kehilangan keluwesan, hingga raut muka yang semakin murung, adalah fragmen-fragmen kecil dari kisah besar: Joko Widodo tengah terperosok dalam fase depresi kronis dan penuaan degeneratif yang sulit dibendung.
Cara berbicara yang mulai tersendat, gestur tubuh yang kehilangan sinkronisasi dengan kata-kata, ekspresi wajah yang kian sulit disamarkan — semua itu menandakan lebih dari sekadar kelelahan fisik. Ini adalah tekanan psikis yang menggerogoti dari dalam, membuat seseorang lambat laun kehilangan daya cengkeram terhadap kenyataan. Ia masih terlihat nyaman memainkan peran lama, berdiri di tengah panggung seolah negeri ini masih dalam genggamannya, padahal kekuasaan de facto telah beralih.
Penuaan ini bukan penuaan yang alamiah. Ini adalah penuaan paksa — degenerasi sistemik akibat stres kronis. Secara medis, stres ekstrem memompa kortisol berlebih ke dalam tubuh, merusak keseimbangan hormonal, mempercepat kerontokan rambut, mengendurkan jaringan kulit, mempercepat keriput, dan mempercepat kelelahan organ vital. Tubuh manusia, di bawah tekanan ketakutan besar, merespons dengan mempercepat keruntuhannya sendiri.
Dan ketakutan itu nyata. Bukan penyesalan moral, melainkan ketakutan akan keterbukaan: ketakutan bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, kerusakan yang ditinggalkan dalam sepuluh tahun pemerintahannya akan menjadi jelas dan tak lagi bisa dibungkam. Bahwa “kolateral damage” yang selama ini disamarkan dengan retorika pembangunan, lambat laun akan menggugat warisan politiknya.
Sepuluh tahun kekuasaan itu sendiri dibangun bukan dari kekuatan yang bersifat tunggal. Ia adalah hasil simpul-simpul kekuatan majemuk: jaringan kepentingan politik dalam negeri, konglomerasi bisnis, hingga tarikan kepentingan global yang menjadikan Indonesia sebagai medan perebutan pengaruh. Kini, simpul-simpul itu mulai longgar. Mereka yang dulu menopangnya, satu per satu mulai menarik diri.
Transisi kekuasaan yang berjalan lambat menambah beban mental itu. Prabowo Subianto, meski sudah resmi menggenggam tampuk, tidak serta-merta memotong semua sisa jaringan Jokowi. Ia memilih bersabar, mengulur waktu, menyusun momentum. Ada kalkulasi besar di balik langkah lamban itu: Indonesia kini menjadi rebutan tiga kekuatan dunia — global predator (GP), Cina, dan Amerika Serikat. Sepuluh tahun terakhir, Cina mendominasi panggung, menguasai lebih dari 70% jalur strategis. Tapi kini, saat GP dan Amerika ingin merebut kembali porsi pengaruhnya, keseimbangan baru harus dirumuskan.
Prabowo tampaknya memahami bahwa jika ia bergerak terlalu cepat, negeri ini bisa terguncang. Tapi jika ia terlalu lama bertahan dalam ketidakpastian, legitimasi kekuasaannya sendiri bisa tergerus. Dalam ketegangan itu, Joko Widodo menemukan dirinya terjepit di ruang sempit, dihimpit rasa takut, ditinggalkan kekuatan lama, tapi juga tak mampu sepenuhnya mengamankan dirinya.
Ia berdiri di antara dua dunia: dunia kekuasaan yang sudah lewat, dan dunia pertanggungjawaban yang segera datang.
Dan dalam keheningan sorot kamera, tubuhnya membisikkan kebenaran lebih lantang daripada semua narasi yang coba ia pelihara: bahwa ia, kini, hanya sedang memainkan lakon terakhir dari sebuah era yang perlahan-lahan tenggelam dalam kecemasan yang diciptakannya sendiri.
Sumber : Tulisan ini rangkuman dari Pendapat Dokter Tifa Dalam Wawancara di Madilog