Dalam dinamika politik Indonesia, sebuah istilah yang terus menjadi sorotan adalah “petugas partai”, yang secara implisit menyiratkan loyalitas total kepada partai politik tertentu, mengesampingkan kepentingan rakyat. Ungkapan ini pertama kali mendapat perhatian luas ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sebagai petugas partai oleh Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, partai pengusungnya. Istilah ini mengundang pertanyaan mendalam tentang posisi presiden di dalam tatanan politik, dan sejauh mana kebijakan negara diarahkan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk mengamankan kekuasaan partai.
Dalam konteks ini, Faizal Assegaf, seorang pengamat politik yang sering memberikan pandangan kritis terhadap rezim Jokowi, memaparkan pandangannya mengenai konspirasi antara Megawati, Jokowi, dan PDIP yang mengakibatkan degradasi tatanan bernegara. Dalam opininya, ia menegaskan bahwa Jokowi bukan hanya seorang pemimpin yang gagal membawa perubahan signifikan, tetapi juga merupakan produk unggulan dari kepemimpinan Megawati dan PDIP.
Petugas Partai: Produk Kejahatan Politik?
Faisal Assegaf tidak ragu menyebut Jokowi sebagai produk unggulan dari PDIP, di mana Megawati berperan sebagai sosok yang membentuk serta membimbing Jokowi menjadi “petugas partai” yang loyal. Petugas partai ini, menurut Assegaf, bukanlah sosok yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat, melainkan seseorang yang ditugasi untuk menjalankan agenda politik yang lebih besar, yakni melanggengkan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite partai.
Dalam pandangan Assegaf, kejahatan tatanan bernegara di bawah Jokowi adalah cerminan dari produk politik yang dikendalikan oleh Megawati. Setiap kebijakan yang dibuat bukanlah untuk kemajuan bangsa, melainkan untuk memperkuat posisi partai dan tokoh-tokoh yang berada di lingkaran kekuasaan. Lebih dari itu, Jokowi, dalam posisi sebagai petugas partai, dianggap menutup mata terhadap korupsi yang merajalela, serta membiarkan terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam setiap tingkatan pemerintahan.
Tugas Petugas Partai: Membegal Demokrasi
Faizal Assegaf juga menyoroti bahwa tugas utama petugas partai seperti Jokowi adalah membegal demokrasi dengan cara menghalangi calon-calon kepala daerah yang potensial dan berintegritas untuk maju dalam pilkada. Hal ini dilakukan dengan mengutamakan calon-calon yang berasal dari lingkaran dekat PDIP atau yang memiliki afiliasi kuat dengan partai tersebut. Dalam hal ini, partai tidak lagi berfungsi sebagai instrumen demokrasi yang memungkinkan kompetisi politik yang sehat, melainkan menjadi alat untuk mengontrol seluruh proses politik demi mempertahankan kekuasaan.
Bagi Assegaf, pembegalan calon kepala daerah yang baik bukan hanya merusak sistem demokrasi, tetapi juga menghancurkan harapan rakyat akan hadirnya pemimpin yang jujur dan kompeten di tingkat lokal. Proses ini memperlihatkan bagaimana mekanisme politik dipelintir untuk kepentingan partai, sehingga harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membawa perubahan kerap kali terkhianati.
Konspirasi Gibran dan Konsolidasi Kekuasaan
Faizal Assegaf juga menyoroti bahwa salah satu fokus utama Jokowi sebagai petugas partai adalah memastikan kelangsungan dinasti politiknya melalui Gibran Rakabuming Raka, putra sulungnya yang kini terjun ke dunia politik. Menurut Assegaf, upaya Jokowi dalam mencari pekerjaan bagi Gibran adalah bagian dari skema yang lebih besar untuk memperkuat posisi keluarganya dalam kancah politik nasional. Dalam hal ini, Megawati dan PDIP dianggap turut mendukung dan mendorong Gibran, menjadikannya bagian dari strategi jangka panjang untuk melanggengkan kekuasaan partai di berbagai tingkatan.
Assegaf juga menggarisbawahi bahwa tugas Jokowi bukan hanya untuk Gibran, tetapi juga untuk memastikan peta politik nasional tetap dalam kendali PDIP. Salah satu tugas penting Jokowi, menurut pandangan Assegaf, adalah menjaga agar Puan Maharani, putri Megawati, tetap berada dalam posisi kunci, seperti Ketua DPR. Ini menunjukkan bahwa strategi konsolidasi kekuasaan tidak hanya terbatas pada Jokowi dan keluarganya, tetapi juga terkait erat dengan kepentingan keluarga besar Megawati dan PDIP.
Kepatuhan dan Kejahatan dalam Bernegara
Menurut Faisal Assegaf, konspirasi yang terjadi di antara Jokowi, Megawati, dan PDIP telah menjadikan tatanan bernegara dipenuhi dengan kejahatan politik. Jokowi, sebagai petugas partai, dianggap patuh dan tunduk pada agenda-agenda yang diinstruksikan oleh Megawati. Kepatuhan ini, dalam pandangan Assegaf, adalah kepatuhan terhadap kejahatan yang menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat.
Megawati dianggap sebagai aktor utama di balik semua keputusan besar yang diambil oleh Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Dalam penglihatan Assegaf, peran Jokowi hanyalah sebagai eksekutor dari kehendak politik Megawati, yang pada akhirnya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan PDIP dalam panggung politik Indonesia.
Kesimpulan
Tulisan Faisal Assegaf ini secara jelas mencoba mengungkap tabir konspirasi antara Megawati, Jokowi, dan PDIP, yang menurutnya bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan mengorbankan integritas sistem politik di Indonesia. Jokowi, sebagai petugas partai, bukanlah sosok yang memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan instrumen politik untuk menjalankan agenda kekuasaan Megawati dan PDIP.
Dengan narasi ini, Assegaf mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap kepemimpinan Jokowi dan mengamati bagaimana demokrasi dipelintir untuk kepentingan elite partai. Dalam kesimpulannya, ia menegaskan bahwa rakyat Indonesia harus sadar akan konspirasi ini dan bersatu untuk menolak segala bentuk manipulasi politik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.