Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sejumlah pihak mengenai aturan ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) terkait Pilpres 2024 Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pihak yang mengajukan gugatan tersebut diantaranya, Ferry Joko Yuliantono (yang juga Politisi Partai Gerindra), mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Anggota DPD Fahira Idris. Para pemohon mengajukan gugatannya sebagai perseorangan warga negara.
Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
“Amar putusan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan dipantau dari Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (24/2).Dikutip kontan.co.id
MK pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. Namun, kemudian terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden pada pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024.
Sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan.
Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan MK bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
“Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945,” ujar Mahkamah dalam pertimbangannya.
Sebagai informasi, Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemmilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”