Setiap negara memiliki kebijakan perpajakan yang berbeda, tergantung pada prioritas pembangunan, kebutuhan fiskal, dan filosofi ekonomi yang diusung. Dalam konteks global, ada negara-negara yang memajaki warganya dengan tingkat yang sangat tinggi, sementara yang lain memilih untuk menerapkan pajak serendah mungkin. Kedua pendekatan ini mencerminkan strategi yang berbeda dalam mengelola kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Negara dengan Pajak Tertinggi: Swedia dan Denmark
Swedia dan Denmark sering disebut sebagai surga bagi kesejahteraan sosial, tetapi dengan harga yang mahal. Swedia, misalnya, mengenakan pajak penghasilan individu hingga 52.9%, salah satu yang tertinggi di dunia. Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di negara ini mencapai 25%. Kebijakan ini mencerminkan komitmen negara untuk menyediakan layanan kesehatan universal, pendidikan gratis hingga perguruan tinggi, serta jaminan sosial yang luas.
Hal serupa berlaku di Denmark, di mana tarif pajak penghasilan mencapai 55.9%. Sistem ini memungkinkan Denmark untuk memberikan layanan publik berkualitas tinggi, termasuk subsidi perumahan dan perawatan lansia. Namun, pajak yang tinggi juga memunculkan tantangan, seperti menekan daya beli masyarakat dan mengurangi insentif untuk berwirausaha.
Negara dengan Pajak Terendah: Uni Emirat Arab dan Bermuda
Di sisi lain, ada negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) yang hampir tidak mengenakan pajak penghasilan individu. Pendapatan negara bergantung pada sumber daya alam, terutama minyak. UEA baru mulai memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 5% pada tahun 2018, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
Bermuda, sebagai contoh lain, sama sekali tidak memungut pajak penghasilan pribadi maupun perusahaan. Pendapatan negara berasal dari pajak properti, tarif impor, dan pariwisata. Sistem ini menarik bagi ekspatriat dan perusahaan multinasional yang mencari lingkungan dengan beban pajak minimal. Namun, sistem pajak rendah ini biasanya diimbangi dengan biaya hidup yang sangat tinggi.
Konsekuensi Pajak Tinggi dan Rendah
Pajak yang tinggi memungkinkan negara-negara seperti Swedia dan Denmark untuk memberikan layanan publik yang nyaris sempurna. Warga menikmati keamanan sosial yang tidak hanya mencakup kesehatan dan pendidikan, tetapi juga perlindungan pengangguran dan pensiun. Namun, beban pajak yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat dan menciptakan ketergantungan yang tinggi pada negara.
Sebaliknya, negara-negara dengan pajak rendah seperti UEA dan Bermuda sering menjadi magnet bagi investasi asing. Warga di negara-negara ini menikmati kebebasan ekonomi yang lebih besar, tetapi harus menerima konsekuensi berupa minimnya layanan publik gratis. Ketergantungan pada sektor tertentu, seperti minyak di UEA, juga menjadikan perekonomian mereka rentan terhadap fluktuasi harga global.
Pembanding: Indonesia dan Timor Leste
Di Indonesia, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) saat ini mencapai 11% dan direncanakan naik menjadi 12% pada 2025. Jika terjadi, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di Asia Tenggara. Bandingkan ini dengan Timor Leste, yang hanya menerapkan pajak penjualan impor sebesar 2.5%. Perbedaan yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia dengan PPN yang tinggi mampu memberikan layanan publik sebanding dengan pajak yang dipungut?
Pajak yang tinggi semestinya berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, jika pengelolaan anggaran tidak efisien dan korupsi masih marak, rakyat justru menanggung beban tanpa mendapatkan manfaat yang layak. Sementara itu, Timor Leste dengan pajak rendah tentu memiliki tantangan lain, yaitu keterbatasan anggaran untuk membangun infrastruktur dan layanan publik.
Refleksi: Menuju Sistem Pajak yang Berkeadilan
Tingkat pajak, tinggi maupun rendah, tidak serta-merta mencerminkan keberhasilan suatu negara dalam mengelola ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kuncinya adalah bagaimana pajak tersebut digunakan. Negara dengan pajak tinggi seperti Swedia mampu menciptakan sistem yang adil, di mana rakyat merasa pajak mereka dikembalikan dalam bentuk layanan yang nyata.
Sebaliknya, negara dengan pajak rendah sering kali menarik bagi individu kaya atau perusahaan besar, tetapi harus mengimbangi kekurangan pendapatan dengan kebijakan lain yang mungkin tidak populer. Indonesia berada di antara dua kutub ini. Dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12%, pemerintah perlu memastikan bahwa tambahan pendapatan negara benar-benar dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk membiayai pemborosan atau korupsi.
Pada akhirnya, pertanyaan “Tidak Malu dengan Timor Leste?” lebih dari sekadar sindiran. Ini adalah ajakan untuk introspeksi: apakah sistem perpajakan kita telah memberikan keadilan dan manfaat yang sepadan bagi rakyat? Pajak tinggi tanpa layanan publik yang memadai hanya akan menjadi beban, sementara pajak rendah tanpa pembangunan akan menjadi hambatan bagi kemajuan.