Yus Dharman, SH., MM., M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Jakarta, 31 Agustus 2025 – Ngalah, ngalih, ngamuk, ngobong (mengalah, menyingkir, mengamuk, membakar) adalah falsafah Jawa yang menggambarkan empat tahapan manusia ketika menghadapi permasalahan. Pertama, ngalah: pasrah dan berkompromi. Kedua, ngalih: menyingkir atau menjauh untuk menghindari konflik. Ketiga, ngamuk: melawan dan tidak lagi mau berkompromi. Dan terakhir, ngobong: membakar, menghancurkan sesuatu yang dianggap sebagai simbol kebencian.
Urutan ini mencerminkan proses pengambilan keputusan yang penuh pertimbangan. Seseorang dituntut untuk terlebih dahulu mengalah ketika diperlakukan tidak adil. Bila tekanan berlanjut, ia memilih menjauh agar terhindar dari pertikaian. Namun, bila gangguan terus datang, maka perlawanan menjadi pilihan terakhir—dengan risiko ekses berupa kerusuhan dan pembakaran. Fenomena ini pernah terlihat saat pedagang loak di Solo melakukan perlawanan terhadap penggusuran.
Peristiwa serupa kembali mencuat pada Jumat, 30 Agustus 2025, ketika kerusuhan besar melanda sejumlah kota. Awalnya, aksi massa hanyalah bentuk protes terhadap usulan kenaikan gaji dan tunjangan baru bagi anggota DPR. Namun, ketidakpuasan publik yang menumpuk akibat kesenjangan ekonomi dan mahalnya biaya hidup menjadikannya bara yang mudah tersulut. Simbol-simbol yang dianggap menyakiti hati rakyat menjadi sasaran kemarahan.
Situasi makin memburuk ketika seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob. Kematian Affan sontak memicu gelombang solidaritas dari sesama pengemudi ojek online dan serikat mahasiswa. Unjuk rasa pun meluas, berubah menjadi bentrokan massif dengan aparat.
Pertanyaannya: apakah amuk massa ini murni lahir dari kekecewaan rakyat, atau jangan-jangan ada “penumpang gelap” dengan agenda tertentu? Siapa dalangnya? Bisa jadi:
- Pihak yang merasa terganggu oleh kebijakan Presiden Prabowo dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi.
- “Gerombolan pihak mantan” yang tak rela kehilangan pengaruh.
- Kelompok yang belum kebagian kekuasaan.
- Atau bahkan pihak yang sedang berkuasa sendiri, demi legitimasi untuk menyingkirkan hegemoni sipil (Polisi, DPR, DPRD yang sesungguhnya adalah representasi sipil).
Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, protes dengan kekerasan harus segera dihentikan. Sebab, aksi demikian tidak memberi manfaat bagi bangsa ini, melainkan justru menjerumuskan kita ke jurang keterpurukan. Itulah yang mungkin diinginkan oleh pihak-pihak yang hendak menguasai sumber daya alam Indonesia.
Mari kita ingat kembali pepatah lama: Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Yus Dharman, SH., MM., M.Kn





















