OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Banyak makna jika kita ingin mengupas istilah “ngalalakon”. Salah satunya ngalalakon adalah tradisi pemindahan pusat pemerintahan kasepuhan, yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan budaya padi. Tradisi ini dilakukan dengan memindahkan permukiman ke titik nadir.
Ngalalakon merupakan tradisi yang wajib dijalankan dan memengaruhi budaya bermukim. Sebagai contoh, di Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, proses kepindahan warga masih berlangsung hingga saat ini. Warga bergotong royong dengan sukacita untuk memindahkan perabotan rumah tangga ke tempat yang baru.
Dalam pemahaman lain, ngalalakon, berasal dari kata lakon. Dari berbagai sumber, lakon adalah tokoh utama yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita. Dalam naskah, lakon memiliki karakter atau watak. Mengetahui jenis dan bentuk lakon penting untuk dipelajari jika tertarik dengan pentas seni seperti teater. Sebab keduanya merupakan unsur penting dalam seni teater.
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, istilah ngalalakon pun cukup menarik untuk dijadikan topik pembahasan. Sebut saja, seorang Ridwan Kamil, mantan Walikota Bandung, lalu dipercaya jadi Gubernur Jawa Barat dan akhirnya gagal menjadi Gubernur DKI Jskarta. Ngalalakonnya Kang Emil dalam kepolitikan di tanah air merupakan lakon khusus yang diarunginya.
Bagi Kang Emil, ngalalakon di dunia politik, tentu menjadi pengalaman penting dalam mengevaluasi diri sebagai aktor politik, yang penuh dengan romantika politik praktis ini. Keberhasilan dan kegagalan dalam mengejar ambisi politik adalah hal yang biasa. Hal ini, identik dengan pernyataan siap kalah dan siap menang dalam sebuah pertsrungan.
Politik adalah seni untuk memenangkan kekuasaan. Omong kosong, jika ada pemain politik yang ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak ingin berkuasa. Ketika Kang Emil diskenariokan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, tentu ada harapan besar bagi para arsitek politik yang ingin mendagangkan Ksng Emil kepada warga DKI Jskarta.
Menurut perhitungan politik ysng disampaiksn para pengamat politik sendiri, peluang Kang Emil untuk berkuasa kembali di Jawa Barat pada periode ke dua kalinya, sebetulnya lebih memungkinkan terpilih, ketimbang harus bertarung di DKI Jakarta yang jelas-jelas merupakan rimba belantara politik bagi seorang Kang Emil yang tidak terlalu mengenalinya.
Akibatnya wajar, bila jauh-jauh hari sebelum tanggal 27 Nopember 2024 tiba, banyak peramal politik yang berceloteh Kang Emil bakal terjungkal dalam pemilihan Gubernur DKI Jskarta. Itu sebabnya, akan lebih baik bila Kang Emil berkompetisi di Jawa Barat saja. Akan tetapi itulah politik. Akal sehat terkadang kalah oleh akal bulus. Itulah yang menimpa diri Kang Emil.
Ngalalakonnya Kang Emil dalam panggung politik, tentu akan menjadi pengalaman berharga bagi mereka yang ingin berkompetisi untuk merebut kekuasaan dalam Pemerintahan sebuah bangsa. Jalan merebut kekuasaan ternyata sangat berbeda dengan hitungan matematik. Banyak faktor tsk terduga ysng mewarnai dan merecokannya.
Contoh lain dari proses ngalalakonnya seorang pejabat publik dapat kita amati kiprah seorang Gus Miftah, yang terpaksa harus lengser dari jabatannya, karena dihujat publik. Masyarakat menilai sebagai pejabat negara yang diberi ananah sebagai Utusan Khusus Presiden, tidak seharusnya mengumbar kata-kata kasar yang membuat sesana anaj bangsa jadi terhina.
Gus Miftah ternyata melakukannya. Walaupun dianggap sebagai candaan, namun rakyat tidak dapat menerimanya. Masyarakat ingin agar para pejabat negara di negeri ini dapat memberi suri tauladan dalam tutur kata dan perbuatan. Harapsn rakyat seperti ini, tentu sangat dipahami oleh Gus Miftah. Apa yang diucapkannya itu sudah menyimpang dari kepatutan sebagai pejabat publik.
Apa yang dialami Kang Emil dan Gus Miftah merupakan proses ngalalakonnya beberapa orang pejabat publik yang penuh dengan romantika dalan kehidupan politik. Apa yang terjadi menunjukan, dalam dunia politik, antara harapan dan kenyataan kerap kali berbeda. Ini sama saja dengan statemen politisi yang bicaranya membela rakyat, tapi faktanya malah menciderai hak rakyatnya sendiri.
Dalam dunia politik sendiri, tidak ada kata jera dalam perjuangan. Dalam bermain politik, merebut kekuasaan adalah sebuah kebutuhsn. Dimana pun di dunia ini, terlebih di sebuah bangsa yang menerapkan sistem demokrasi, tidak akan ada kekuasaan diberikan dengan gratis. Semua yang bakal dicspai, pasti ada harga yang mesti ditebus dan langkah untuk merebutnya
Politik memang mahal. Tebusannya, bukan hanya dengan saweran, namun yang lebih penting lagi adalah nilai moral dalam kehidupan. Politik bukan hanya sekedar merebut kekuasaan, tapi yang lebih utama lagi adalah apakah setelah berkuasa akan mampu mempertanggungjawabkan kekuasaan yang digenggamnya itu dengan penuh kehormatan ?
Akhirnya penting diingatkan, politik adalah bagian integral dari ngalalakon nya seseorang dalam pdntas pembangunan. Dirinya akan disorot oleh ratusan juta anak bangsa. Hati-hatilah dalam berwacana dan berperilaku. Sekali saja keliru, terlalu mahal untuk membayarnya. Yang “ngalalakon” itu, sejatinya adalah orang yang jadi “boga lalakonnya”. Ingat ! (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).