Disatukan oleh seragam hijau yang sama, senasib sepenanggungan, ojek online (ojol) telah melampaui batas profesi menjadi fenomena sosial-politik yang nyata. Mereka bukan sekadar penyedia layanan transportasi; mereka adalah bagian dari struktur sosial baru—infra-structure—yang memaksa sistem politik untuk memperhitungkan keberadaan mereka.
Kehidupan ojol sehari-hari penuh ketidakpastian: tarif rendah yang ditetapkan platform, order fiktif, risiko kecelakaan, hingga minimnya perlindungan sosial. Senasib sepenanggungan ini melahirkan solidaritas kolektif yang kuat, yang lebih tangguh daripada aturan formal. Seperti yang dikemukakan Karl Marx, “The worker is a collective being whose consciousness is shaped by the conditions of labor.” Solidaritas ojol lahir dari pengalaman kolektif menghadapi ketimpangan ekonomi digital, sehingga identitas mereka bukan hanya profesi tetapi juga posisi sosial-politik.
Dalam konteks sistem politik, ojol muncul sebagai pressure group modern. Mereka bukan bagian dari partai politik, tetapi kemampuan untuk memobilisasi diri—baik melalui aksi jalanan maupun platform digital—memberikan pengaruh nyata terhadap kebijakan publik dan regulasi perusahaan aplikasi. Seperti dijelaskan oleh David Truman dalam teorinya tentang pressure group, “Interest groups arise when a segment of the population has a common interest that they believe is inadequately represented in the political process.” Demonstrasi massal ojol menegaskan bahwa pemerintah dan perusahaan tidak bisa mengabaikan suara mereka, meski mereka tidak memiliki kursi di parlemen.
Fenomena ini menyoroti kegagalan regulasi pemerintah dalam menyeimbangkan kekuatan ekonomi antara platform digital dan pekerja. Platform transportasi online menguasai pasar dan menekan tarif, sementara perlindungan sosial bagi pengemudi masih minim. Ketimpangan ini memaksa ojol bergerak sebagai kelompok politik informal yang menekan negara dan perusahaan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Dengan demikian, ojol menunjukkan bahwa kekuatan politik dalam demokrasi modern tidak hanya bersumber dari lembaga formal, tetapi juga dari mobilisasi kolektif di ruang publik. Seperti ditegaskan oleh Robert Dahl, demokrasi menuntut “opportunities for participation by citizens in the political process.” Solidaritas jalanan mereka menjadi saluran tekanan yang efektif, memaksa sistem politik menanggapi ketidakadilan ekonomi digital. Ojol membuktikan bahwa suara politik bisa lahir dari seragam hijau di jalanan, bukan hanya dari kursi parlemen—dan dalam masyarakat digital, kekuatan seperti ini semakin tak bisa diabaikan.























