Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memimpin Indonesia selama hampir satu dekade, dengan dua periode kepemimpinan yang penuh dinamika politik dan kontroversi. Namun, seiring mendekati akhir masa jabatannya, muncul serangkaian manuver politik yang memunculkan dugaan bahwa Jokowi tidak hanya enggan melepaskan kekuasaan, tetapi juga terkesan panik menghadapi ketidakpastian politik pasca-kepemimpinannya. Keinginan untuk menunda pemilu, memperpanjang masa jabatan, serta melibatkan anggota keluarga dan orang-orang dekatnya dalam politik adalah indikasi nyata dari ambisi kekuasaan yang berlebihan dan mungkin bahkan ketakutan akan hilangnya kendali.
Menunda Pemilu dan Memperpanjang Masa Jabatan: Ambisi yang Gagal Terwujud
Pada tahun 2021, muncul isu yang cukup menghebohkan tentang rencana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana ini pertama kali diusulkan oleh beberapa elite politik dan mendapat dukungan dari sebagian kecil partai politik koalisi pemerintah. Mereka berdalih bahwa pandemi COVID-19 membuat pelaksanaan pemilu di tahun 2024 menjadi sulit dan menuntut stabilitas lebih lama untuk mengatasi krisis ekonomi dan kesehatan. Namun, banyak pihak yang melihat ini sebagai upaya terselubung untuk memperpanjang masa kekuasaan Jokowi.
Gelombang penolakan keras dari masyarakat sipil, oposisi, dan beberapa tokoh politik memaksa Jokowi untuk angkat bicara dan menegaskan bahwa dia tidak akan memperpanjang masa jabatannya. Namun, narasi dan desakan untuk menunda pemilu masih saja muncul hingga tahun 2023, menunjukkan bahwa wacana tersebut belum sepenuhnya ditinggalkan, meski akhirnya gagal terwujud.
Manuver di Mahkamah Konstitusi: Jalan Masuk Bagi Gibran
Upaya mempertahankan pengaruh di puncak kekuasaan juga terlihat dari berbagai langkah yang melibatkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Gibran, yang merupakan Wali Kota Surakarta, secara mengejutkan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengizinkan Gibran maju, meskipun usianya belum memenuhi persyaratan minimal 40 tahun untuk menjadi cawapres, menimbulkan kontroversi besar.
Banyak pihak menilai keputusan MK tersebut direkayasa demi kepentingan politik keluarga Jokowi. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa Ketua MK, Anwar Usman, merupakan paman dari Iriana Jokowi, istri Presiden Jokowi. Hubungan keluarga ini memicu kecurigaan bahwa ada intervensi politik yang kuat di balik keputusan tersebut.
Promosi Kaesang di PSI: Dinamika Baru dalam Politik Dinasti
Selain Gibran, Jokowi juga mendorong Kaesang Pangarep, anak bungsunya, masuk ke dalam kancah politik. Kaesang ditunjuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada tahun 2024, sebuah langkah yang banyak dianggap sebagai strategi untuk memperkuat pengaruh keluarga Jokowi di dunia politik pasca-kepemimpinannya.
Promosi Kaesang sebagai ketua umum partai, meskipun minim pengalaman politik, dianggap sebagai upaya untuk menjaga dinasti politik keluarga tetap relevan di masa depan. Namun, manuver ini menghadapi kritik keras dari berbagai pihak yang melihatnya sebagai bentuk nepotisme dan pengabaian terhadap meritokrasi dalam politik Indonesia.
Penggalangan Kekuatan dengan Relawan ‘Berani Mati’
Upaya memperkuat kekuasaan juga terlihat dari rencana Jokowi mengarahkan puluhan ribu relawan yang disebut sebagai “relawan berani mati”. Para relawan ini dipersiapkan untuk membela Jokowi dan melindungi kepentingannya, terutama dalam menghadapi kemungkinan ketidakpuasan dan resistensi dari masyarakat pasca-2024.
Strategi ini, jika terealisasi, berpotensi mengancam demokrasi dan keamanan nasional. Kehadiran kelompok-kelompok yang terorganisir dengan loyalitas buta kepada seorang tokoh politik bisa menjadi sumber ketegangan dan konflik horizontal di masyarakat. Namun, rakyat Indonesia, yang dikenal tangguh dan kritis, tidak mudah diintimidasi oleh kekuatan seperti ini. Banyak masyarakat, terutama generasi muda dan kelompok sipil, menunjukkan bahwa mereka siap melawan segala bentuk otoritarianisme.
Rakyat Tidak Takut Melawan: Menolak Dinasti Kekuasaan dan Otoritarianisme Baru
Upaya Jokowi untuk mempertahankan pengaruh politik dengan berbagai cara menunjukkan indikasi bahwa ia belum siap sepenuhnya untuk menyerahkan kendali kepemimpinan. Mulai dari wacana memperpanjang masa jabatan, manipulasi hukum demi menguntungkan anaknya, hingga memobilisasi relawan “berani mati,” semua ini menggambarkan ambisi kekuasaan yang tidak sehat.
Namun, masyarakat Indonesia menunjukkan resistensi yang kuat terhadap segala bentuk upaya manipulasi dan kontrol politik berlebihan. Demonstrasi dan kritik keras dari berbagai elemen masyarakat, baik melalui media sosial maupun aksi massa, adalah bukti bahwa rakyat Indonesia tidak takut melawan. Semangat ini menggarisbawahi harapan besar akan demokrasi yang lebih bersih dan bebas dari dominasi politik keluarga dan dinasti.
Kesimpulan: Mempertanyakan Warisan Kepemimpinan Jokowi
Seiring mendekati akhir masa jabatannya, Jokowi menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa ia adalah pemimpin demokratis yang sejati, bukan seorang yang rakus kekuasaan dan panik kehilangan kendali. Pilihan-pilihan politik yang diambilnya dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan bagaimana sejarah mencatat warisan kepemimpinannya: sebagai sosok yang memperkuat demokrasi Indonesia atau sebagai seseorang yang melemahkannya dengan ambisi pribadi dan dinasti.