Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, FusilatNews – Instrumen pengawasan internal dan ekternal terhadap pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi, khususnya terkait penyidikan terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (HK), nampak mati suri, tidak berdaya dan diduga kuat berada dalam kendali intervensi pejabat-pejabat yang menjadi kroni Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
“Dewan Pengawas (Dewas) KPK tidak berdaya dan tidak melakukan langkah pengawasan dan penindakan apa pun terhadap perilaku menyimpang penyidik KPK dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang disangkakan kepada HK,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH di Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Begitu pula, kata Petrus, dengan instrumen pengawasan di Kepolisian RI (Polri) seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Inspektur Pengawas Umum (Irwasum), dan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri seperti tutup mata terhadap desakan publik agar perilaku penyidik KPK yang “unprosedural” (tidak prosedural) dilakukan penindakan, mengingat penyidik KPK berasal dari Polri dan mereka masih loyal kepada pimpinan Polri.
“Apa yang terjadi dengan perilaku penyidik KPK dalam kasus HK jelas merupakan pembusukan terhadap hukum acara pidana dan prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang berlaku universal. Namun Dewas KPK, Irwasum, Kompolnas, dan Divisi Propam Polri menutup mata dan tidak mencerminkan sikap menjunjung tinggi program penegakan hukum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” jelas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
MK Proteksi Kepastian Hukum
Menurut Petrus, putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pidana korupsi dengan terdakwa bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WS) dan bekas anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina (ATF) serta Saiful Bahri (SB) yang telah berkekuatan hukum tetap, telah mengikat semua pihak, tidak hanya mengikat terpidana (WS, ATF dan SB), Jaksa Penuntut Umum (JPU), Harun Masiku (HM) dan seluruh saksi, tetapi juga KPK.
“Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu telah memastikan bahwa si penerima suap adalah WS dan ATF, sedangkan pemberi suap adalah SB dan HM. Jumlah uang suap yang diberikan/diterima adalah sebesar Rp600 juta dan sumber uangnya berasal dari tersangka HM dan itu telah mengikat semua pihak,” tegasnya.
Untuk mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu, kata Petrus, hanya boleh dilakukan dengan menggunakan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK).
“Namun sayangnya KPK tidak memiliki wewenang dan atau hak untuk mengajukan PK dalam putusan perkara pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ini semata-mata demi menjaga prinsip kepastian Hukum dan HAM yang bersifat universal,” cetusnya.
Oleh karena itu, kata Petrus, langkah KPK mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) baru dan menetapkan HK serta Dony Tri Istiqomah (DTI) sebagai tersangka suap dan perintangan penyidikan, jelas merupakan pembusukan terhadap hukum acara pidana, mengingkari prinsip kepastian hukum dan HAM atas sebuah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat semua pihak.
Terobosan Hukum yang Salah
KPK, lanjut Petrus, harus ingat ketentuan hukum positif mengharuskan semua pihak taat dan tunduk pada prinsip kepastian hukum yang dihasilkan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Dalam rangka menjaga prinsip kepastian hukum itu pulalah Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini telah membatalkan wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan PK. Padahal sebelumnya kewenangan jaksa untuk mengajukan PK diberikan oleh UU No 11 Tqhun 2021 tentang Perubahan atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Namun, kewenangan tersebut dicabut oleh MK dalam Putusan PUU MK Nomor: 20/PUU-XXI/2023,” paparnya.
Sebelumnya, MK pernah menyatakan bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang berhak mengajukan PK. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MK No 33/PUU-XIV/2016. “Artinya, Hukum 0ositif dan MK sangat protektif terhadap HAM dan prinsip kepastian hukum itu sendiri,” tukasnya.
Pertimbangan MK mencabut kewenangan jaksa untuk mengajukan PK, kata Petrus, didasarkan pada alasan-alasan berikut.
Pertama, kewenangan yang diberikan kepada jaksa untuk mengajukan PK bertentangan dengan UUD 1945, karena
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kedua, kewenangan tersebut menyalahi norma kepentingan umum dan menyalahi HAM.
Arogansi KPK
Petrus berpendapat, KPK seharusnya memahami putusan MK soal betapa pentingnya menjaga kepastian hukum, karena di dalamnya ada aspek HAM. “KPK tidak boleh merasa dirinya seolah-olah berada di atas menara gading, lantas bisa melakukan apa saja atau menerobos kondisi di mana ketiadaan wewenang KPK untuk mengajukan PK, dengan cara yang salah yaitu membuka kembali penyidikan baru atas peristiwa pidana yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap,” urainya.
Dengan Sprindik baru untuk HK, masih kata Petrus, maka KPK dipastkan bersikap arogan bahkan melakukan kejahatan jabatan baru berupa merekayasa peristiwa pidana baru dengan sumpah palsu atau keterangan palsu dari saksi-saksi yang sebelumnya telah memberikan keterangan di bawah sumpah dan keterangannya itu dijadikan dasar putusan hakim dalam persidangan.
“Oleh karena itu, saksi-saksi yang dulu telah diperiksa namun sekarang dipanggil lagi meskipun wajib hukumnya untuk hadir namun berhak menolak memberikan keterangannya, karena ia terikat pada keterangannya dalam perkara terdahulu, yang telah diklarifikasi, diverifikasi dan divalidasi di bawah sumpah dalam persidangan terbuka untuk umum,” tetangnya.
“Di sinilah letak sikap pembusukan terhadap hukum acara pidana dan profesionalisme penyidik oleh pimpinan KPK. Independensi dan loyalitas kepada profesionalisme KPK patut dipertanyakan, bahkan KPK diduga tengah menyiapkan skenario saksi palsu atau sumpah palsu di persidangan nanti, jika HK dan DTI kelak dibawa ke persidangan,” lanjutnya.
Terbitkan SP3
Oleh karena faktanya HK telah dijadikan tersangka secara tanpa dasar hukum yang kuat, kata Petrus, agar KPK tidak kehilangan muka dan demi menjaga marwah KPK, maka pilihan KPK untuk tidak melanggar prinsip kepastian hukum hanyalah dengan cara menghentikan penyidikan terhadap HK lewat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau menghadapi praperadilan yang diajukan oleh HK dengan segala konsekuensinya.
“Tindakan KPK sungguh memalukan, karena mengorbankan independensi dan profesionalismenya dengan melacurkan profesinya menjadi alat kepentingan politik yang disebut-sebut kepentingan dinasti politik Jokowi dan kroninya,” sesalnya.
“Publik khawatir KPK akan meniru gaya Aguan, ketika ditanya wartawan mengapa berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, jawab Aguan karena ini perintah Jokowi dan demi menjaga muka Presiden. Jangan-jangan KPK juga nanti jika ditanya wartawan mengapa KPK men-Sprindik-kan HK dan menjadikannya tersangka, lalu KPK jawab ini perintah Jokowi dan demi menjaga muka Jokowi,” tandasnya.