Oleh M Yamin Nasution – Pemerhati Hukum
Agama Islam memerintahkan untuk memegang teguh keadilan dengan sepenuh-penuhnya, tidak memandang kerabat jauh dan dekat, terhadap diri sendiri dan kaum keluarga, ataupun terhadap yang kaya maupun yang miskin, karena mereka semua berhak mendapat keadilan. Allah SWT memerintahkan kepada manusia yang beriman kepada NYA untuk berlaku adil, menegakkan keadilan, dan menjadi saksi demi keadilan di berbagai ayat dalam Al-Qur’an, salah satu dari peringatan Allah tersebut tertulis jelas didalam Surah An-Nisa 135 yang artinya;
Hai orang-orang yang beriman!
Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang teguh dalam menegakkan keadilan,
Menjadi saksi kebenaran karena Tuhan, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu bapamu atau kerabatmu, ataupun kepada orang kaya maupun miskin, karena Tuhan dekat dengan keduanya. Sebab itu janganlah kamu turutkan kemauan mu yang rendah untuk tidak berlaku adil. Bila kamu perpaling atau tidak mau menurut, sesungguhnya Tuhan itu tahu apa yang benar yang kamu kerjakan (Tafsir Qur’an oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, 1966).
Akan tetapi, tafsir al-qur’an seperti ini perlahan-lahan berubah dan dirubah sehingga tafsir Al-qur’an tidak lagi berbicara untuk kepentingan keadilan dalam bernegara melainkan hanya semata-mata untuk ibadah kepada tanpa menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam bernegara.
Tokoh ormas islam hanya berbicara keras apabila kepentingan politik peribadinya dan faksi terusik, sehingga banyaknya ulama islam yang muncul kepermukaan dengan gelar panjang tak lebih dari berbicara tentang persoalan kencing dan wudu’ yang notabene dibahas dari TK.
Seluruh Intelektual islam tak memiliki pengetahuan tentang konsep negara secara fundamental dan ilimiah, apa arti warga negara dan bedanya dengan anggota negara, apa bedanya Unity in Diversity dengan Diversity within Unity.
Tokoh dakwah islam hanya menikmati kekayaannya dari mahalnya bayaran tarif da’wah dan nikmatnya ketenaran dan hanya bangga dengan follower medsos yang banyak.
Sedangkan petinggi-petinggi ormas islam sibuk merangkum proposal-proposal bangkai busuk sehingga dekat dengan kekuasaan (Nabi SAW mengatakan sebagai bangkai).
Nahdlatul Utama (selanjutnya disebut NU) dahulu telah jauh berbeda dengan yang sekarang, dahulu ormas ini menjadi perahu besar membawa masyarakat dari kegelapan hingga ketempat terang, sehingga tak sedikit ormas ini melahirkan pemikir bangsa.
Kini, NU adalah tunggangan bagi petinggi-petinggi ormas islam tersebut untuk mendapatkan proyek-proyek berbasis agama melalui pendekatan menjual KTA Anggota (proposal) dan mengejar jabatan di lembaga-lembaga negara, sekecil-kecilnya menjadi sales sertifikat halal.
Lebih jauh lagi, perkembangan orang-orang yang ada dibalik ormas-ormas islam kini telah menjadi pengelola konsesi tambang.
Apakah mereka memahami perihal pertambangan dengan benar? Atau mereka menjadi calo yang pada akhirnya konsesi lahan yang diberikan pemerintah sebagai balas jasa politik telah mengerahkan budak-budaknya untuk memilih sesuai pesanan dan selanjutnya konsesi diberikan ke pengusaha Cina Lokal dan RRC?
Ormas-ormas tersebut seharusnya fokus bicara kemajuan peradaban melalui Pendidikan, sebab masyarakat Indonesia buruk akan hal ini. Mereka mengklaim dengan banyaknya gedung Pendidikan yang dimiliki telah melahirkan generasi dengan kwantitas besar, akan tetapi kwalitas rendah.
Mereka yang berada dibalik ormas suci tersebut semestinya berbicara tentang penegakan hukum, korupsi, kemiskinan dan keadilan, sebab hal ini telah bertahun-tahun menjadi masalah besar dinegara ini.
KESIMPULAN
Konstitusi negara memerintahkan bahwa kekayaan alam dikuasai negara sepenuh untuk kepentingan rakyat, akan tetapi 51% sumber daya alam Indonesia dikuasai Cina 9 naga, Asing dan kedepan negara masuk kedalam penjajahan ekonomi.
Oleh sebab itu, ormas-ormas dan tokoh-tokohnya seharusnya menjalankan perintah Allah SWT sesuai ayat al-qur’an yang disebutkan diatas sehingga kemiskinan, korupsi, kesenjangan ekonomi, kebodohan dalam satu kesatuan disebut ketidakadilan dapat dikurangi dari negara Indonesia.
Tidak menjadi pesaing bisnis atau bahkan menjadi broker-broker dari konsesi yang diminta sebagai syarat dukungan politik pada kekuasaan.