Oleh Murhan R.
Di penghujung dekade 1950-an, dunia tengah berdebat tentang batas yang tak kasatmata: seberapa jauh laut bisa disebut “milik negara.” Persoalan ini tidak sederhana. Ia menyangkut kedaulatan, sumber daya, dan hak penangkapan ikan yang menjadi urat nadi ekonomi bagi banyak bangsa pesisir.
Perdebatan besar itu mengemuka dalam Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Conference on the Law of the Sea / UNCLOS I) yang berlangsung di Jenewa pada 24 Februari hingga 27 April 1958. Sebanyak 700 delegasi dari 88 negara berkumpul, berusaha menyusun hukum laut internasional pertama di dunia. Sidang ini merupakan tindak lanjut dari Resolusi Majelis Umum PBB pada 21 Februari 1957, yang menugaskan International Law Commission (ILC) untuk menyiapkan rancangan perjanjian tentang pengaturan laut bebas, laut teritorial, serta perlindungan sumber daya hayati laut.
Namun, seperti halnya arus laut yang saling bertubrukan, kepentingan negara-negara peserta pun saling bersilang.
Kepentingan Nasional yang Bertabrakan
Salah satu perdebatan paling sengit terjadi mengenai lebar laut teritorial—yakni sejauh mana kedaulatan suatu negara berlaku dari garis pantainya ke arah laut.
Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Kanada mengusulkan batas 6 mil laut untuk wilayah teritorial, disertai tambahan 6 mil zona perikanan, sehingga total jarak efektif menjadi 12 mil. Usulan ini dikenal sebagai kompromi “6+6 formula”.
Sebaliknya, sejumlah negara lain seperti Meksiko, Islandia, Venezuela, Arab Saudi, dan Republik Persatuan Arab (gabungan Mesir dan Suriah saat itu) menginginkan batas yang lebih luas, yakni 12 mil laut penuh sebagai wilayah teritorial. Islandia, misalnya, menolak keras usulan Amerika karena perairan sejauh 12 mil merupakan wilayah penting bagi nelayannya yang menggantungkan hidup pada ikan cod di Atlantik Utara.
Perbedaan pandangan ini bukan sekadar angka di atas peta. Bagi negara-negara berkembang, laut adalah soal hidup dan mati. Semakin luas batas laut teritorial, semakin besar pula kendali mereka atas sumber daya ikan, minyak, dan mineral bawah laut.
Debat yang Tak Berujung
Dalam Komite I (Committee on the Whole) yang bersidang antara 17 Maret hingga 26 April 1960, persoalan ini dibahas dengan panas. Agenda utama meliputi dua hal:
- Lebar laut teritorial, dan
- Zona tambahan untuk kepentingan perikanan dan keamanan.
Namun, hasilnya nihil. Tak satu pun usulan memperoleh suara mayoritas. Rancangan kompromi yang diajukan oleh Amerika Serikat dan Kanada gagal disetujui karena ditentang oleh blok negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah yang mendukung batas 12 mil.
Kegagalan ini menunjukkan bahwa persoalan laut bukan sekadar soal teknis hukum, melainkan benturan antara kepentingan ekonomi, keamanan, dan kedaulatan. Negara-negara dengan garis pantai panjang menuntut kendali lebih luas, sementara negara maritim besar yang mengandalkan kebebasan navigasi menolak pembatasan yang terlalu ketat.
Kelemahan dan Lanjutannya
Konferensi 1958 memang berhasil melahirkan empat konvensi penting—tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, Laut Lepas, Perikanan dan Konservasi Sumber Hayati Laut Lepas, serta Landas Kontinen—tetapi gagal menyepakati hal paling mendasar: berapa mil laut yang dianggap sah sebagai wilayah kedaulatan negara.
Kelemahan lainnya, seperti diakui para delegasi, terletak pada pengaturan yang terlalu kompleks dalam konvensi perikanan dan pengelolaan sumber daya hayati laut bebas. Tidak ada kejelasan mengenai batas tangkap, konservasi, dan pengawasan lintas negara.
Kegagalan ini memaksa dunia untuk kembali duduk di meja perundingan dalam Konferensi Hukum Laut PBB Kedua (UNCLOS II) yang diselenggarakan pada 17 Maret–26 April 1960, juga di Jenewa. Namun, konferensi kedua pun mengalami kebuntuan yang sama. Tidak ada suara mayoritas yang bisa menetapkan lebar laut teritorial secara universal.
Menuju Hukum Laut Modern
Butuh waktu lebih dari dua dekade bagi dunia untuk mencapai kesepakatan yang lebih komprehensif. Baru pada Konferensi Hukum Laut PBB Ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung antara 1973 hingga 1982, dunia sepakat menetapkan batas 12 mil laut sebagai wilayah teritorial resmi, serta 200 mil laut sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)—batas yang berlaku hingga kini dan diadopsi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS 1982).
Dengan demikian, apa yang gagal disepakati pada 1958–1960 akhirnya terwujud dua puluh tahun kemudian, setelah dunia belajar bahwa laut bukan hanya jalur pelayaran, tetapi juga masa depan pangan dan energi umat manusia.
Penutup
Konferensi Hukum Laut PBB pada akhir 1950-an menunjukkan betapa rumitnya menetapkan batas laut di tengah perbedaan kepentingan nasional. Ia juga menjadi cermin bahwa hukum internasional tumbuh dari perdebatan panjang dan kompromi yang tak pernah mudah.
Di atas kertas, laut tampak tenang dan biru. Namun di ruang-ruang sidang Jenewa, gelombangnya jauh lebih bergolak.






















