Di belahan Bandung Utara, disuatu siang, saya berjanji bertemu dengan seorang teman baru dari Papua, Pak Sonny namanya. Dari Sorong. Awalnya inisiatif saya untuk menemuinya, tetapi rupanya gayung bersambut, beliau pun ingin bertemu dengan saya. Yang mendorong kami sama sama ingin bertemu adalah, issue papua merdeka. Maka terjadilah pertemuan dari hati ke hati, sangat terbuka dan blak-blakan mengenai berbagai persoalan di Papua dan perilaku pemeritah pusat terhadap Papua.
Sangat mencengankang, ketika beberapa hari sebelumnya, teman Sonny-dari Papua juga, yang baru saja di wisuda S2 di Jakarta, berkata begini :”kalau saja saya terus melanjutkan studi S3 nya, saya rasa sebelum saya di wisuda, Papua sudah merdeka!!!”. Aduuh. Nah alasan ini pula sebenarnya, yang membuat rasa penasaran, sehingga saya ingin menggali informasi lebih lanjut dari Sonny.
Saya mulai bertanya mengenai Free Port. Bagaiamana Pak Sonny bisa menjelaskan? begitu kata saya. Lalu Pak Sonny menguraikan seperti ini; “ Proyek Free Port itu, sudah tinggal beberapa kilometer lagi sampai ke gunung (Puncak Sukarno), yang diselimuti salju abadi. Sekarang saljunya sudah tidak ada Pak, terganggu oleh proyek Free Port. Bukan itu saja, suku-suku yang hidup banyak di sekitar Free Port, sudah tdk bisa hidup lagi disana, karena hutan sudah habis oleh proyek. Sungai-sungai kotor dan beracun pak, buangan limbah proyek. Dan Pemerintah pusat tidak pernah berbicara kepada Pemda setempat dan suku-suku yang hidup disana”, demikian lirihnya.
“Memang ada pembagian beras dari Free Port, kepada mereka. Tetapi beras bukan makanan kami. Kami tidak bisa tanam umbi lagi, tidak bisa tangkap babi lagi, ikan-ikan disungai sudah tidak ada lagi”, lanjutnya
Bagaimana rencana membangun tranportasi Kereta Api di Papua? “wah..itu hutan-hutan bisa habis Pak. Rusak lingkungan kami Pak”, tambahanya. Saya bertanya lagi, mengenai gerakan Papua Merdeka. “ Ada banyak kemajuan, ada beberapa Negara sudah mengakui keberadaan kami, dan perjuangan Papua Merdeka di Luar Negeri, sangat effektif. Di perjuangkan di berbagai Negara maju dan termasuk di PBB”, begitu lanjutnya.
“sebenarnya, kata Pak Sonny, ada juga ke hawatiran kami, kalau Papua Merdeka, yaitu perpecahan diantara kita, karena kita tidak mudah bisa berkomunikasi dengan mereka. Bahasa kami berbeda-beda, itu saja”.
Pembicaraan kami, berlanjut ke masalah-masalah budaya masyarakat Papua, yang di akhir percakapan, Pak Sonny memberikan pinjam buku tulisan Kuntjaraningrat, menganai etnis-etnis Papua, yang akan saya tulis kelak.