Keamanan publik adalah kebutuhan dasar setiap masyarakat. Namun, cara menjaga keamanan tidaklah seragam di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem keamanan masyarakat dikenal dengan figur sherif—seorang pejabat kepolisian daerah yang dipilih langsung oleh warga. Sherif bukan hanya aparat hukum, tetapi juga representasi kepercayaan masyarakat yang memilihnya. Hal ini menciptakan relasi langsung antara hukum dan rakyat.
Di Jepang, pendekatan berbeda digunakan melalui konsep koban, yakni pos polisi kecil yang tersebar di lingkungan perumahan. Koban bukan hanya kantor polisi mini, melainkan titik interaksi harian antara warga dan aparat. Polisi di koban terbiasa menyapa, memberi informasi, hingga membantu urusan kecil seperti barang hilang. Hasilnya, Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kriminalitas rendah di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, khususnya Bali? Di Pulau Dewata, peran keamanan lokal tak hanya dipegang kepolisian negara, tetapi juga oleh pecalang—satuan pengamanan adat yang berakar dari tradisi Hindu Bali. Pecalang biasanya hadir di momen upacara adat, keagamaan, dan kegiatan komunitas, tetapi peran mereka lebih luas: menjaga harmoni sosial, mengatur lalu lintas ketika upacara berlangsung, bahkan menengahi konflik kecil dalam banjar (desa adat).
Keistimewaan pecalang terletak pada posisinya di tengah-tengah komunitasnya sendiri. Mereka bukan aparat luar, melainkan bagian dari masyarakat yang mereka jaga. Pecalang mengenal hampir semua warga di lingkungannya, memahami karakter, kebiasaan, bahkan potensi konflik yang mungkin muncul. Karena kedekatan ini, mereka mampu bertindak bukan hanya secara represif, tetapi preventif.
Inilah yang menjelaskan mengapa Bali relatif aman meskipun kedatangan wisatawan asing begitu masif. Pecalang tidak hanya menjaga upacara adat, tetapi juga menjadi wajah lokal dari keamanan. Dalam konteks pariwisata, mereka adalah penghubung antara budaya Bali yang ramah dengan kebutuhan akan ketertiban. Bagi orang asing, pecalang bisa tampak sebagai petugas keamanan tradisional; bagi masyarakat lokal, mereka adalah saudara sendiri yang menegakkan aturan bersama.
Jika di Amerika keamanan masyarakat lahir dari legitimasi politik (sherif dipilih rakyat), di Jepang dari kehadiran negara dalam skala kecil (koban di tiap sudut), maka di Bali keamanan tumbuh dari kebersamaan adat. Pecalang menunjukkan bahwa keamanan bukan sekadar urusan aparat formal, melainkan sesuatu yang hidup dalam keseharian komunitas.
Dengan kata lain, Bali mengajarkan bahwa rasa aman lahir bukan hanya dari hukum dan senjata, melainkan dari kedekatan sosial dan kepercayaan. Pecalang, dengan segala kearifannya, adalah bukti bahwa akar budaya dapat menjadi benteng keamanan yang kokoh.























