Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Malang nian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nasib partai berlambang Ka’bah ini laksana Sisifus yang dikutuk para dewa untuk melakukan pekerjaan sia-sia selamanya. Siapa itu Sisifus?
Adalah Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Prancis, yang pada 1942 menulis “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus).
Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk para dewa untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yakni mendorong batu ke puncak gunung. Namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali. Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendorong batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu dorong lagi, begitu seterusnya.
PPP pun demikian. Sejak 1979, partai politik yang merupakan fusi dari lima parpol Islam pada 1973 ini pun senantiasa dilanda konflik internal sehingga apa yang mereka kerjakan seakan sia-sia.
Kelima parpol Islam itu adalah Partai Nahdatul Ulama (PNU), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Konflik internal teranyar tercipta di Muktamar PPP yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, akhir pekan lalu. Muktamar untuk memilih pengurus baru ini diwarnai aksi baku hantam, dan melahirkan dua kepengurusan kembar: kubu Mardiono dan kubu Agus Suparmanto.
Masing-masing kubu mengklaim sebagai pemenang. Bahkan bukan sekadar pemenang, masing-masing kubu mengklaim terpilih secara aklamasi. Tanpa voting atau pemungutan suara.
Entah seperti apa logikanya. Bagaimana bisa sebuah muktamar dengan pemilik suara yang sama memilih secara aklamasi dua sosok yang berbeda?
Aneh tapi nyata. Tapi itulah politik. Dan politik punya logikanya sendiri.
Sebelum ini, tahun 1979 terjadi konflik internal Ketua Umum PPP Jailani Naro dari Parmusi dengan faksi NU.
Tahun 2010 terjadi konflik internal antara Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum dengan KH Zainuddin MZ dkk yang kemudian melahirkan parpol sempalan, yakni Partai Bintang Reformasi (PBR).
Tahun 2014 terjadi konflik internal antara Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Djan Faridz di satu kubu dengan Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuzy di kubu lain.
Suryadharma kemudian masuk penjara karena korupsi, sehingga perjuangannya diteruskan oleh Djan Faridz yang kemudian melahirkan kepengurusan kembar yang dihasilkan melalui masing-masing muktamar, antara kubu Djan Faridz dan kubu Romi.
Romi menyusul Suryadharma masuk penjara karena korupsi. Perjuangan Romi dilanjutkan Suharso Monoarfa.
Tahun 2021, dualisme PPP berakhir setelah nama Djan Faridz masuk kepengurusan Suharso. Namun tak lama kemudian Suharso pun dipecat oleh Majelis Pertimbangan PPP dan kedudukannya digantikan oleh Muhammad Mardiono yang menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP hingga Muktamar PPP akhir pekan lalu.
Di era kepemimpinan Mardiono inilah PPP mengalami kehancuran sehancur-hancurnya, sehingga untuk pertama kalinya terpental dari DPR karena tidak berhasil memenuhi “parliamentary threshold” atau ambang batas perolehan suara 4%. Maka tidak masuk akal ketika Mardiono yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden Joko Widodo ini terpilih kembali sebagai Ketua Umum PPP. Apalagi secara aklamasi.
Kini, ada matahari kembar di PPP. Yakni, Mardiono, dan Agus Suparmanto yang merupakan bekas Menteri Perdagangan. Akankah konflik internal ini berakhir? Setelah berakhir, akankah muncul konflik internal baru?
Alhasil, nasib PPP benar-benar menyerupai Sisifus yang dikutuk karena mencuri rahasia para dewa. Adapun PPP “dikutuk” karena elite-elitenya gagal mengendalikan ego masing-masing.
Ironis juga ketika PPP yang menyebut diri sebagai parpol Islam justru terus-menerus dilanda konflik internal; sesuatu yang jauh dari “ukhuwah” (persaudaraan) yang merupakan nilai-nilai Islam.
Bagaimana mau mengurus umat dan konstituen kalau para pemimpin PPP terlibat konflik, tak bisa mengurus diri sendiri?
Uruslah dirimu sendiri sebelum mengurus orang lain (umat). Bagaimana bisa mengurus umat kalau mengurus diri sendiri saja tidak bisa?
Uruslah parpolmu sebelum mengurus negara. Bagaimana bisa mengurus negara kalau mengurus parpol sendiri saja tidak bisa?

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)




















