Preman Jalanan Diganyang, Preman Berdasi Disayang
Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan mengawini para bekas pelacur
Adalah omong kosong
(Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, WS Rendra)
Analog, menganjurkan mengganyang premanisme tanpa menyediakan pekerjaan bagi preman adalah omong kosong alias omon-omon.
Demikianlah. Pemerintah sedang giat-giatnya memberantas premanisme di mana-mana. Di seluruh Indonesia. Tak terkecuali di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur.
Di pasar tradisional ini, aparat keamanan menangkap pentolan preman, dan juga merobohkan posko ormas yang menjadi sarang preman.
Aksi premanisme di Pasar Induk Kramatjati sudah berlangsung cukup lama. Puluhan tahun. Setiap pedagang kaki lima yang berjualan di sana dipalak Rp1 juta per bulan dan Rp20 ribu per hari. Dari 150 PKL, para preman itu mengantongi uang haram hingga Rp225 juta per bulan.
Preman yang menjadi tukang parkir di Tanah Abang dan Monas, Jakarta Pusat, juga diganyang. Setiap bulan mereka meraup “rezeki” Rp6-7 juta.
Pertanyaannya, setelah diganyang, ditertibkan dan kehilangan penghasilan, para preman dan keluarga mereka harus makan apa? Apakah pemerintah mau menyediakan lapangan pekerjaan “halal”?
Mengganyang premanisme tanpa menyediakan lapangan pekerjaan adalah omon-omon. Para preman itu bisa bermetamorfosis atau bertransformasi menjadi maling, begal, rampok, bromocorah dan sejenisnya.
Kalau perut sudah lapar, dan anak istri pun lapar, mereka bisa melakukan apa saja. Lebih ganas dari preman.
Analog, ketika prostitusi di lokalisasi diganyang, para Pekerja Seks Komersial (PSK) bertebaran ke mana-mana. HIV/AIDS pun sulit dikontrol. Maka mengganyang pelacuran tanpa mengawini bekas pelacur adalah omon-omon.
Siapa pun yang punya akal sehat, pasti setuju premanisme diganyang. Sebab, tindakan mereka melakukan intimidasi, kekerasan fisik dan pungutan liar, jelas melanggar hukum.
Pun prostitusi yang secara agama dianggap haram, dan juga secara hukum dianggap melanggar aturan.
Demi keadilan, hukum harus ditegakkan. Sesuai prinsip “equality before the law” (kesetaraan di muka hukum).
Pertanyaan berikutnya, apakah pemberantasan premanisme hanya “hangat-hangat tahi ayam” atau cuma semangat sesaat ketika kasus-kasus kekerasan yang diduga melibatkan oknum-oknum anggota Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya pimpinan Rosario de Marshal alias Hercules sedang viral?
Setelah diganyang, mereka dibiarkan kembali ke habitatnya dengan “setor” ke oknum aparat dengan nominal lebih besar. Artinya, pengganyangan preman dilakukan demi meningkatkan daya tawar atau “bargaining power” oknum aparat kepada preman.
Jika itu terjadi, maka mereka para oknum aparat itu tak lebih dari sekadar badut-badut yang menuduh preman sebagai sumber bencana negara. Di saat yang sama, mereka justru memanfaatkan preman.
Selama ini preman eksis karena ada yang memanfaatkan. Mereka “setor” ke oknum-oknum aparat.
Banyak pula pejabat dan pengusaha yang memanfaatkan jasa preman. Misalnya untuk menjaga objek sengketa seperti lahan tanah dan bangunan gedung atau rumah.
Tak mungkin mereka akan menggunakan aparat resmi seperti Polri atau TNI, karena hal itu akan melanggar hukum: memanfaatkan aparat negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Di sinilah kemudian berlaku hukum pasar “supply and demand”. Ada permintaan maka ada penawaran.
Preman Berdasi
Pertanyaan berikutnya lagi, bagaimana dengan preman berdasi, apakah mereka juga akan diganyang?
Kini sedang viral oknum anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Cilegon, Banten, diduga memalak tender proyek pembangunan pabrik Chlor Alkali-Ethylene Dichloride (CA-EDC) milik Chandra Asri Group melalui anak usahanya, PT Chandra Asri Alkali senilai Rp5 triliun. Apakah akan ada tindakan hukum terhadap preman berdasi itu?
Bagaimana pula dengan para pejabat perizinan yang memalak pengusaha saat hendak mendirikan pabrik, misalnya?
Pejabat dan pengusaha yang korupsi juga preman. Mereka preman berdasi atau penjahat kerah putih atau “white collar crime”. Apakah mereka juga akan diganyang?
Ada yang bilang, keberadaan preman dan penguasa adalah ibarat gigi dan gusi. Melekat. Tak bisa dipisahkan.
Apakah keberadaan Hercules dan Presiden Prabowo Subianto juga ibarat gigi dan gusi? Kita tunggu saja nanti akan seperti apa “ending”-nya.
Alhasil, kita setuju premanisme diganyang. Tapi jangan lupa pemerintah juga harus menyediakan lapangan pekerjaan. Mengganyang preman tanpa menyediakan lapangan pekerjaan adalah omon-omon.
Preman berdasi juga harus diganyang. Mereka menempel dengan kekuasaan. Seperti gigi dengan gusi. Preman berdasi jangan disayang. Jangan tebang pilih. Sesuai prinsip “equality before the law”.
Mengganyang preman jalanan tanpa mengganyang preman berdasi sama saja dengan membubarkan lokalisasi tanpa mengganyang prostitusi di hotel-hotel berbintang.
Dolly, Surabaya, ditutup. Saritem, Bandung, disegel. Tapi prostitusi di hotel-hotel berbintang dibiarkan.
Jangan hipokrit. Jangan menjadi badut-badut yang menuduh prostitusi sebagai sumber bencana negara, tanpa memberikan solusi.
Jangan menjadi badut-badut yang menuduh preman jalanan sebagai sumber bencana negara, tanpa memberi mereka pekerjaan. Jangan hanya preman berdasi yang disayang!