Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Publik dan Politik)
Dalam perspektif hukum positif yang berlaku, sertifikat dapat dicabut kapan saja oleh dan atas nama negara, selama terbukti bahwa penerbitan sertifikat tersebut didasarkan pada tindak kejahatan. Logika hukumnya menyatakan bahwa benda tidak bergerak (objek sertifikat), termasuk nomenklatur wilayah laut (laut atau samudra), bukanlah wilayah yang dapat dimiliki secara individu, kelompok, atau badan hukum. Hal ini sejalan dengan sistem hukum positif Indonesia yang menegaskan bahwa laut sebagai bagian dari tanah air (bangsa dan negara) adalah milik negara secara mutlak tanpa masa kedaluwarsa, sepanjang negara tersebut berdiri. Hal ini juga diatur dalam hukum laut internasional, khususnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), hasil Konvensi PBB tentang Hukum Laut II Tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Dengan demikian, kedaulatan negara atas wilayah laut yang termasuk zona teritorial Indonesia (berdasarkan hukum internasional) otomatis menegasikan ketentuan dalam sistem hukum yang mengatur pembatalan sertifikat hanya dalam kurun waktu 5 tahun sejak penerbitannya. Regulasi yang merongrong kedaulatan negara terhadap laut harus disingkirkan, termasuk model kolonialis yang mengintimidasi kepentingan negara.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo dalam kasus kriminal terkait pemagaran laut dan penerbitan 280 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB)—sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media online maupun konvensional—cukup memberikan perintah kepada Kapolri untuk bertindak secara presisi terhadap seluruh subjek hukum yang terlibat (dader/pleger, medeplichtige, dan uitlokker). Tindakan tersebut harus berdasarkan asas ketidakberpihakan dan dijalankan dengan kepastian hukum serta keadilan menggunakan metode sederhana sesuai prinsip yang dianut oleh Konstitusi Dasar Indonesia, yakni UUD 1945, yaitu “semua orang sama di hadapan hukum” (equality before the law). Dengan demikian, hukum harus berfungsi untuk memberikan kepastian (legality), manfaat (utility), dan keadilan (justice).
Adapun sikap tegas Presiden RI yang dituntut publik bukan hanya terbatas pada memberikan perintah kepada Kapolri, tetapi juga mencerminkan martabat dan fungsi presiden. Jika Kapolri tidak mematuhi perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI dan Polri, maka langkah yang tegas seperti memberhentikan atau membebastugaskan Kapolri harus diambil. Masa jabatan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dapat dialihkan kepada Wakapolri. Terlebih lagi, dalam kasus ini (a quo in casu), sesuai dengan asas hukum pidana, peristiwa tersebut tergolong delik biasa dengan kategori delik formal-materil. Oleh karena itu, Kapolri sebenarnya dapat langsung melakukan penyidikan tanpa perlu menunggu laporan, karena perbuatan telah terjadi secara formal dan telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Penulis adalah:
- Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat
- Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI).