OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sesuai Penugasan Kepala Badan Pangan Nasional kepada Direktur Utama Perum Bulog No. 21/TS 03.03/K/1/2025, disana tertulis, Perum Bulog diberi tugas untuk menyerap gabah dan beras secara bersamaan. Mengingat tugas yang demikian, menjadi tidak relevan jika ada yang mempersoalkan Perum Bulog beli gabah atau beras dalam panen raya padi ini ?
Banyak pihak berkepentingan dengan adanya panen raya padi di negeri ini. Pemerintah merupakan pihak yang berharap agar panen raya kali ini dapat membuka lembaran baru dalam percepatan pencapaian swasembada pangan 2027 mendatang. Itu sebabnya, pelaksanaan panen yang puncaknya di tengarai terjado Maret – April 2025, menjadi salah satu ukuran mendukung terwujudnya swasembada pangan.
Bagi petani padi, panen raya merupakan kesempatan untuk berubah nasib dan kehidupan. Pada saat panen inilah petani akan menikmati hasil dari perjuangan sekitar 100 hari, mengelola usahataninya. Itu sebabnya, petani akan kecewa berat, bila saat musim panen datang, harga gabah kering panen mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Sedangkan bagi para pelaku bisnis gabah di lapangan (bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha), panen raya merupakan waktu untuk mengais rejeki secara maksimal. Namun begitu, sekalipun pelaku bisnis memiliki hak untuk memperoleh keuntungan setinggi-tingginya, tapi jangan dilupakan perlunya penerapan rasa keadilan dalam melakoni kehidupan di negeri ini.
Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog untuk menyerap gabah dan beras petani, tentu bukan hanya sekedar menyerap gabah dan beras semata, tapi ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi. Dalam Lampiran Perkabadan No. 2/2025 secara detail dijelaskan berbagai persyaratan tersebut, khisusnya untuk gabah kerinf panen, baik di tingkat petani atau pun di penggilingan padi.
Persyaratan itu adakah :
GKP di tingkat petani
1. GKP di luar kualitas 1 di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi (pemotongan/ pengurangan harga) Rp300 sehingga HPP berlaku adalah Rp6.200 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air maksimal 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, dikenakan rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.075 per kg.
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, kena rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku Rp5.750 per kg
B. GKP di tingkat penggilingan
1. GKP di luar kualitas 1 dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 10-15%, dikenakan rafaksi Rp300, sehingga HPP-nya jadi Rp6.400 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, kena rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.275 per kg
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg.
Persyaratan seperti ini, sepertinya kurang dipahami oleh para petani di lapangan, karena sosialisasi yang minim. Perum Bulog sendiri, terekam belum mampu mensosialisasikannya dengan terstruktur, sistemik dan masif. Akibatnta wajar jika petani, bahkan masyarakat hanya tahu satu harga saja terkait dengan HPP Gabah yakni Rp. 6500,- per kilogramnya.
Lebih jauhnya lagi, kalau di lapangan terjadi harga gabah dibawah angka Rp. 6500,- per kg, maka langsung disimpulkan harga gabah berada di bawah HPP. Padahal, bila dicermati lebih seksama, mengapa harga gabah Rp. 5950,- karena kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%. Kualutas gabah seperti ini, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg. HPP Gabah Rp. 6500,- itu jika kadar airnya maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %.
Salah tafsir terhadap HPP Gabah semacam ini, sangat tidak baik jika dibiarkan berlarut-larut, tanpa segera dicarikan jalan keluarnya. Perum Bulog sendiri, mestinya mampu pro aktif untuk secepatnyq membangun sinergi dan kolaborasi dengan kelembagaan Pemerintah terkait untuk secepatnya menjawab salah tafsir atas HPP Gabah di lapangan.
Untuk lebih mensosialisasikan kenaikan HPP Gabah dan Beras, sedini mungkin, Perum Bulog perlu membangun kemitraan integratif dengan para Penyuluh Pertanian lapang untuk sama-sama turun ke petani gunq mensosialisasikan HPP Gabah dan Beras baru ini. Inilah langkah awal dari proses sosialisasi dengan mengedepankan pendekatan deteksi dini (early warning).
Di sisi lain, muncul pula persoalan lain yang tak kalah menarik untuk dibincangkan lebih jauh. Mana yang sebaiknya diprioritaskan oleh Perum Bulog saat panen berlangsung : menyerap gabah dari petani atau menyerap beras dari para pelaku bisnis beras (bandar/tengkulaj/pedagang/pengusaha) di lapangan atau kedua-duanya dilakukan secara berbarengan ?
Adanya aspirasi dari tokoh KTNA yang meminta Pemerintah memprioritaskan penyerapan gabah petani ketimbang penyerapan beras dari pelaku bisnis, tentu perlu dijawab dengan penuh kearifan. KTNA pasti memiliki alasan mengusulkan hal seperti ini. Itu sebabnya, aspirasi ini pantas diberi jawaban cerdas, dan bukan hanya sekedar asal bunyi.
Di lain pihak, regulasi Pemerintah terkait penyerapan hasil panen raya kali ini, Perum Bulog ditugaskan untuk menyerap gabah dan menyerap beras. Pemerintah pasti memiliki argumen, mengapa harus melahirkan kebijakan demikian ? Di lain pihak, KTNA juga memiliki alasan kuat mengapa Perum Bulog perlu lebih memprioriraskan penyerapan gabah petani ketimbang penyerapan beras pedagang.
Terlepas dari apa yang akan dilakukan Perum Bulog saat panen raya padi di bulan Maret/April nanti, tugas Perum Bulog sesuai penugasan Pemerintah adalah menyerap gabah dan menyerao beras dari hasil produksi dalam negeri, baik dari petani atau pun pelaku bisnis di lapangan. Kita percaya Perum Bulog sudah siap dengan langkah cerdasnya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).