Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Begitu calonnya tumbang di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kota Depok, Jawa Barat dan Jakarta, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Mabruri langsung melontarkan semacam apologia. Katanya, kekalahan itu biasa saja, karena kekuasaan memang dipergilirkan, tidak abadi.
Ia lalu menganalogikan PKS dengan Kekhalifahan Islam di Andalusia yang sempat berjaya selama 700 tahun, namun akhirnya roboh juga.
Kekhalifahan adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Dikutip dari sejumlah sumber, Khilafah adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah.
Konsep tersebut mengandaikan seluruh dunia Islam disatukan ke dalam satu sistem kekhalifahan atau pemerintahan yang tunggal.
Khilafah, menurut Ibn Khaldun, adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya.
Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat (Islam).
Adapun Andalusia merujuk pada Daulah Islam Al Andalus, nama wilayah kekuasaan Muslim yang berada di semenanjung Iberia, tepatnya di barat daya benua Eropa. Saat ini, wilayah tersebut terpecah menjadi dua negara, yakni Spanyol dan Portugal.
Spanyol sebelumnya dikuasai oleh bangsa Romawi. Kala itu Romawi menjadi salah satu bangsa terkuat di dunia seperti Persia.
Spanyol akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Islam pada era Khalifah Al-Walid (705-715 M). Setelah 700 tahun berjaya, Kekhalifahan Islam di Andalusia akhirnya roboh juga.
Visi PKS adalah menjadi partai Islam rahmatan lil alamin yang kokoh dan terdepan dalam melayani rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meski demikian, PKS kerap diasosiasikan dengan Front Pembela Islam (FPI) yang visi-misinya adalah menerapkan syariat Islam secara “kaffah” (menyeluruh) di naungan Khilaafah Islamiyyah, sebagaimana disebut Pasal 6 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI.
Implikasinya, PKS kerap diasumsikan sebagai partai politik yang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Padahal tidak demikian visi PKS.
Kalah di Lumbung Suara
Kota Depok dan Jawa Barat adalah lumbung suara tradisional PKS, baik untuk pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden maupun pemilihan kepala daerah. Namun, justru di lumbung suaranya itu PKS menderita kekalahan.
Padahal sebelumnya PKS mendominasi Kota Depok sejak 2006 ketika Presiden Partai Keadilan Nurmahmudi Ismail, Menteri Kehutanan dan Perkebunan di era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memenangkan Pilkada Kota Depok 2006.
Sejak itu, PKS selalu memenangkan Pilkada Kota Depok. Baru pada tahun 2024 ini, PKS gagal memenangkan kadernya.
Di Pilkada Kota Depok 2024, pasangan calon walikota-wakil walikota yang diusung PKS bersama Partai Golkar, Imam Budi Hartono-Ririn Farabi Arafiq kalah melawan pasangan Supian Suri-Chandra Rahmansyah. Padahal Imam Budi Hartono adalah petahana.
Demikian pula di Jawa Barat. Presiden PKS Ahmad Syaikhu yang maju jadi calon gubernur berpasangan dengan Ilham Habibie, putra Presiden ke-3 RI BJ Habibie kalah dari pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan.
Begitu pun di Pilkada Jakarta 2024. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung PKS dan parpol-parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus lainnya tumbang melawan pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI Perjuangan.
Padahal di Pilkada DKI Jakarta 2017, Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang antara lain diusung PKS menang, menumbangkan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat.
PKS juga menang di Jakarta pada Pemilu Legislatif 2024.
Akar Kerontokan
Mengapa suara PKS rontok di lumbung-lumbung suara tradisionalnya?
Kiranya tak berlebihan jika dikatakan kerontokan itu berakar pada bergabungnya PKS dengan KIM Plus yang mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam Pilkada Jakarta 2024, PKS juga bergabung dengan KIM Plus dengan mengusung cagub Ridwan Kamil yang menggandeng Suswono sebagai cawagubnya yang kemudian disingkat RIDO. Suswono adalah kader senior PKS yang juga Menteri Pertanian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
PKS sebenarnya sudah sejak lama berkolaborasi dengan Prabowo. Tapi kali ini di belakang Prabowo ada bekas Presiden Joko Widodo. Padahal antara PKS dan Jokowi ibarat air dan minyak.
Untuk Jakarta, selain bergabungnya PKS dengan KIM Plus, rontoknya suara partai berjuta umat ini juga karena batal mengusung Anies Baswedan sebagai cagub. Di menit-menit terakhir, Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 ini justru bergabung dengan Pramono-Rano.
Faktor kedua adalah blundernya RIDO mengusung isu pemberdayaan janda yang mengambil contoh janda kaya Siti Khadijah menikahi Nabi Muhammad SAW yang Suswono sebut sebagai pengangguran.
Kini, “kekhalifahan” PKS pun roboh sudah di lumbung-lumbung suara tradisionalnya. Quo vadis PKS?