Oleh: Radhar Tribaskoro
Seberapa teroris sih kita? Ini pertanyaan penting sebab pemerintahan periode kedua Jokowi sangat menekankan bahaya radikalisme. Hampir seluruh menteri diamanatkan membasmi radikalisme itu. Isu radikalisme adalah bagian utama dari visi/misi presiden.
Demikian pentingnya isu tersebut sehingga ketika Rektor Unhan, dengan mengatasnamakan Menhan, menyebutkan bahaya komunis sebagai isu, jubir presiden Fajrul Rahman dengan lantang mengancam akan mencopot menteri yang tidak satu visi/misi dengan presiden.
Anti-radikalisme adalah kebijakan yang lahir dari ancaman terorisme. Radikalisme dianggap sebagai penyebab terorisme itu. Jadi kalau ingin membasmi terorisme maka radikalisme harus dihabisi.
Lalu kita pun bertanya, “Emangnya seberapa bahaya terorisme bagi kita”
Catatan yang saya temukan menyebutkan bahwa selama 37 tahun, sejak 1981 s/d 2018, korban meninggal karena aksi terorisme sebanyak 426 orang tewas dan 1044 orang luka.
Korban sebanyak itu tidak ada artinya dibandingkan kematian per tahun akibat demam berdarah (8.000), diare (66.000), kecelakaan laulintas (40.000) dan… merokok (217.400).
Jadi atas dasar apa pemerintah meletakkan radikalisme/terorisme sebagai kebijakan prioritas? Bayangkan berapa anggaran pemerintah untuk membayar polisi mesjid, sementara ada jutaan mesjid/musala di Indonesia?
Dengan mengubah target, dari terorisme menjadi radikalisme, pemerintah serta merta menjadikan puluhan juta muslim sebagai treatment object. Isu radikalisme menjadikan penguasa memiliki kemampuan menggelar indiscriminative attack kepada muslim dengan mempersoalkan cara berpakaian (cadar, celana cingkrang), menggelar polisi mesjid, memaksa majelis taklim mendaftarkan diri, dst.
Apakah ini sebuah langkah yang umum dilakukan negara-negara di dunia untuk menanggulangi terorisme/radikalisme?
Setiap tahun Institute of Economics and Peace (IEP) menyusun Global Terrorism Index, yaitu suatu indeks yang mengukur dampak dari terorisme kepada suatu negara. Indonesia ternyata tidak berada di negara yang parah terdampak terorisme. Indonesia berada di urutan ke-35 dari 138 negara (lihat Tabel). Sesama negara Asean, yaitu Pilipina dan Thailand berada di urutan ke-9 dan 18. Kedua negara sahabat itu jauh lebih terdampak terorisme daripada kita.
Pilipina dan Thailand bukan negara muslim, keduanya jauh lebih terdampak oleh terorisme daripada Indonesia, tetapi keduanya tidak menggelar aksi penuh curiga dengan menaruh mata-mata di setiap sudut mesjid. Kedua negara itu tidak mempersoalkan celana cingkrang atau memaksa kumpulan pengajian mendaftarkan diri.
Kenapa begitu, ada apa sebenarnya? Saya yakin ini persoalan kepercayaan (trust). Tetapi ada yang aneh. Biasanya masalah kepercayaan berkenaan dengan kemerosotan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dalam kasus ini yang punya masalah adalah pemerintah: pemerintah tidak percaya kepada rakyatnya sendiri.
Ini tanda apa? Bagi saya ini tanda bahaya: pemerintah sudah bergerak lepas kaitan (uncoupling) dari rakyatnya. Seperti gerbong melepaskan diri dari lokomotifnya.