Zulkifli Hasan, yang menjabat sebagai Menteri Kehutanan di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pernah menjadi sorotan internasional ketika aktor Amerika Serikat, Leonardo DiCaprio, mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia terkait pembabatan hutan. DiCaprio, yang dikenal sebagai aktivis lingkungan, mengecam praktik penebangan hutan yang berkontribusi pada perubahan iklim dan kerusakan habitat. Zulkifli, sebagai Menhut, berhadapan dengan tantangan besar untuk mempertahankan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Kritik tersebut mencerminkan ketidakpuasan global terhadap pendekatan Indonesia terhadap sumber daya alam, di mana keputusan kebijakan seringkali terjebak dalam konflik kepentingan dan kepentingan ekonomi jangka pendek.
Memasuki era Jokowi, Zulkifli Hasan kembali menjadi sorotan publik ketika terlibat dalam isu kartel minyak goreng (MIGOR). Isu ini mencuat ketika harga minyak goreng meroket dan kelangkaan terjadi, memicu kemarahan masyarakat. Dalam konteks ini, banyak yang menilai bahwa pemerintah, termasuk Zulkifli, tidak cukup proaktif dalam menangani masalah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Zulkifli memiliki pengalaman di kabinet, ia tidak terhindar dari kritik mengenai efektivitas dan transparansi kebijakannya dalam mengatasi isu-isu yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Lebih kontroversial lagi, pada era Prabowo, Zulkifli Hasan secara terbuka dituduh melakukan nepotisme dengan menempatkan anak-anaknya dalam posisi-posisi penting, baik di eksekutif maupun legislatif. Langkah ini menuai kritik dari banyak pihak, yang melihatnya sebagai contoh jelas dari penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya akuntabilitas. Dalam politik, nepotisme seringkali dianggap sebagai praktik yang merugikan demokrasi dan menghambat kemajuan sosial. Dengan menempatkan anggota keluarga dalam posisi strategis, Zulkifli tidak hanya memperkuat jaringan kekuasaan pribadinya, tetapi juga berpotensi mengabaikan meritokrasi dalam proses pengambilan keputusan.
Kritik yang ditujukan kepada Zulkifli Hasan menggambarkan tantangan besar yang dihadapi oleh para pemimpin politik di Indonesia. Dalam konteks global yang semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas, perilaku yang dianggap tidak etis seperti pembabatan hutan, keterlibatan dalam kartel, dan praktik nepotisme dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pihak-pihak yang menginginkan perubahan harus terus mendorong agar pemimpin seperti Zulkifli Hasan bertanggung jawab atas kebijakan dan tindakan mereka, serta berkomitmen untuk memperbaiki kondisi sosial dan lingkungan di Indonesia.
Dalam perjalanan politiknya, Zulkifli Hasan menjadi simbol dari dilema yang lebih besar dalam politik Indonesia: bagaimana menavigasi antara kepentingan pribadi, ekonomi, dan lingkungan dalam era modern yang penuh tantangan. Kesuksesan atau kegagalannya dalam menghadapi isu-isu ini tidak hanya akan menentukan masa depannya, tetapi juga masa depan politik dan lingkungan di Indonesia secara keseluruhan.