Pengunduran diri mendadak Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada 11 Agustus 2024 mengejutkan banyak pihak. Di tengah guncangan politik ini, nama Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, muncul sebagai salah satu kandidat potensial pengganti Airlangga. Keakraban yang terlihat antara Airlangga dan Bahlil saat sarapan bersama di area embung Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, pada Senin (12/8/2024), menambah spekulasi bahwa keduanya adalah pion penting dalam strategi politik Presiden Jokowi.
Dalam momen tersebut, Airlangga dan Bahlil tampak santai berbincang dan berfoto bersama di hadapan media. Bahlil kemudian menjelaskan bahwa pertemuan tersebut adalah hal biasa antara dua sahabat. “Saya sama dia kan sahabat baik, kami kan biasa aja. Biasalah ngomong kerjaan,” ujar Bahlil saat memberikan keterangan pers di Istana Garuda, IKN, dikutip dari Antaranews. Namun, saat ditanya lebih lanjut mengenai kepengurusan Golkar dan kesiapan partai dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Bahlil memilih untuk tidak berkomentar, dengan alasan dirinya bukan pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar saat ini.
Pengunduran diri Airlangga diumumkan secara resmi pada Minggu, 11 Agustus 2024, dengan alasan menjaga keutuhan Partai Golkar dan memastikan stabilitas transisi pemerintahan yang akan datang. Airlangga, yang telah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar sejak 2019, menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah pertimbangan mendalam dan bukan karena tekanan kasus hukum yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung, terkait dugaan korupsi fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan kelangkaan minyak goreng pada tahun 2021.
Pihak internal Golkar, termasuk Wakil Ketua Umum Ahmad Doli Kurnia, menekankan bahwa pengunduran diri Airlangga lebih dipengaruhi oleh keinginan pribadi untuk fokus menjalankan tugasnya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, terutama dalam menghadapi masa transisi dari pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin kepada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Namun, banyak yang meyakini bahwa ada dinamika politik yang lebih kompleks di balik langkah ini, terutama dengan munculnya Bahlil sebagai calon kuat pengganti.
Kedekatan yang ditunjukkan Airlangga dan Bahlil dalam situasi ini mengisyaratkan bahwa keduanya berperan sebagai pion dalam strategi politik Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di dalam Golkar, partai besar dengan sejarah panjang dan pengaruh signifikan di panggung politik nasional. Dengan mundurnya Airlangga, dan kemungkinan naiknya Bahlil, pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana Golkar akan mengarungi dinamika politik yang semakin kompleks di bawah pemerintahan baru. Apakah Golkar akan tetap solid atau justru terpecah akibat permainan politik yang dimainkan oleh para aktor utamanya?
Kedepannya, kepemimpinan baru di Golkar akan menghadapi tantangan besar, baik dalam menjaga soliditas partai maupun dalam mempertahankan posisi strategis di tengah peta politik nasional yang terus berubah. Di sisi lain, bagaimana Jokowi memainkan perannya dalam dinamika ini juga akan menjadi penentu arah politik Indonesia, terutama dalam konteks transisi kekuasaan yang sedang berlangsung.