Lane menerangkan terdapat dua jenis diferensiasi atau kekontrasan corak politik yang terungkap dalam proses pilpres kali ini.
Jakarta – Fusilatnews – Dinamika politik di Indonesia menjelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun 2024 di Indonesia menjadi sorotan analis politik Australia Maxe Lane
Dalam artikel dengan judul Understanding Indonesia’s 2024 Presidential Elections: A New Polarisation Evolving. yang ditulis Maxe Lane dalam jurnal ISEAS Yusof Ishak Institute, yang terbit di Singapura pada Rabu (31/1/2024)
Lane membandingkan polarisasi kali ini dengan pemilu 2014 dan 2019. Polarisasi yang ada saat ini, lanjut Lane, berdasarkan warisan 32 tahun Orde Baru.
“Dengan cara pemerintahan yang dibangun berdasarkan kekuasaan dinasti, kronisme, dan hak untuk memerintah yang diasumsikan anggota elit Orde Baru,” tulis dia.
Warisan ini juga ditandai dengan perpecahan antara mereka yang terintegrasi ke dalam budaya tersebut atau ingin menjadi bagian darinya, dan mereka yang dikecualikan.
Perpecahan baru
Lane memandang periode 20 tahun, usai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lengser dari presiden, diwarnai dengan gambaran polarisasi di kalangan elit politik Indonesia.
“Meski masih ada waktu untuk kampanye, kontestasi ketiga calon mengungkap perpecahan baru yang mungkin mengubah kehidupan politik Indonesia,” menurut Lane di tulisan dia.
Pasangan calon yang ikut kompetisi di pilpres kali ini yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Menurut , Lane konsensus mengenai dasar-dasar status quo, sebagaimana ditentukan kebijakan pemerintah selama sepuluh tahun terakhir, mungkin akan menyebabkan politik suara bulat (politic of unanimity) kembali.
Menurut Cambridge Dictionary politik suara bulat adalah kesepakatan penuh di setiap anggota kelompok.
Lane menerangkan terdapat dua jenis diferensiasi atau kekontrasan corak politik yang terungkap dalam proses pilpres kali ini.
“Pertama berkaitan dengan sifat koalisi yang dibentuk untuk mendukung Prabowo. Koalisi ini terdiri dari banyak elemen yang terkait dengan Orde Baru,” ujar dia.
Koalisi Prabowo yang diberi nama Koalisi Indonesia Maju terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PSI, Gelora, PBB, dan PAN
Sejumlah ketua partai pengusung Prabowo merupakan menteri di kabinet Jokowi. Mereka yakni Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Demokrat merupakan partai yang dibentuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2001. Dia memiliki karier yang cemerlang di militer di era 1990 an.
Prabowo-Gibran juga mendapat dukungan dari Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto. Keduanya masih di dunia militer saat Orde Baru.
Wakil Prabowo, Gibran, yang sempat menjadi sorotan adalah anak pertama Jokowi.
Relasi dengan Orde Baru
Pemerintahan Jokowi juga tak lepas dari orang-orang terkait Orde Baru. Dia menunjuk Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden, Wiranto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menkomarves.
Keterkaitan dengan tokoh-tokoh Orde Baru, kian kentara, saat Golkar mengunggah video AI yang menampilkan Soeharto mewakili kampanye Prabowo.
Di video itu, ‘Soeharto’ meminta warga untuk mencoblos Golkar.
“Meski ada yang mendukung Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, kombinasi mantan jenderal, tokoh Golkar dan keluarga Soeharto mengungkap koalisi Prabowo mengingatkan kita pada masa Orde Baru era Soeharto,” ujar Lane dalam tulisannya.
Lane juga mencatat bahwa koalisi pengusung Anies dan Ganjar sama-sama mendapat tokoh dunia usaha yang menonjol di masa Orde Baru.
Anies diusung Partai NasDem. Ketua partai ini, Surya Paloh, merupakan mantan tokoh Golkar dan pengusaha. Paloh disebut menjadi tokoh penting Golkar di tahun-tahun terakhir Orde Baru.
“Namun, para pendukung ini tak mewakili elemen inti Orde Baru seperti koalisi Prabowo,” ungkap dia.
NasDem berusaha menjauhkan diri dari pengaruh Orde Baru. Juru Bicara partai ini Surya Tjandra merupakan pengacara HAM dan terafiliasi dengan masyarakat sipil pengkritik pemerintahan Soeharto.
Lane juga menjabarkan keretakan PDIP dan Jokowi, presiden yang pernah diusung, di pilpres sebelumnya.
PDIP di pilpres kali ini mengusung Ganjar dan Mahfud, sementara Jokowi cenderung mendukung Prabowo-Gibran.
Jokowi bahkan mendapat kritik keras dari masyarakat karena intervensi dia di pilpres kali ini.
Di jurnal tersebut, Lane menjelaskan kondisi PDIP di era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto, lanjut dia, melakukan intervensi ke partai yang dipimpin Megawati Soekarno Putri ini untuk kepentingan dia.
Dia juga menerangkan selama satu dekade pemerintahan SBY atau 2004-2014, PDIP berada di luar pemerintahan.
“Polarisasi baru antara unsur-unsur inti elit Orde Baru, termasuk Joko Widodo, dan unsur-unsur di luar Orde Baru berarti bahwa polarisasi tersebut menimbulkan kekhawatiran di luar partai politik, dan juga di antara beberapa
elemen masyarakat sipil,” ujar Lane.
Selain itu, Lane menjelaskan kekhawatiran masyarakat terkait kebangkitan Orde Baru memicu gerakan “Asal bukan Prabowo.”