FusilatNews – Dalam dunia jurnalistik, integritas adalah mata uang paling berharga. Seorang wartawan yang masih memegang teguh prinsipnya akan menjaga jarak dari kekuasaan dan segala bentuk privilege yang dapat mengaburkan objektivitasnya. Sebab, begitu seorang jurnalis mulai mendekati lingkaran kekuasaan, ia bukan lagi pemantau yang kritis, melainkan bagian dari sistem yang seharusnya ia awasi.
Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain. Aneh rasanya ketika para pemimpin redaksi dari berbagai media besar diundang ke Hambalang—lokasi yang penuh dengan simbol politik dan kekuasaan—lalu mereka hadir dan pulang dengan membawa goodie bag. Ini bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan gambaran suram tentang bagaimana jurnalisme bisa terkooptasi oleh kepentingan elite.
Jurnalisme dan Kekuasaan: Sebuah Kontradiksi
Secara ideal, wartawan adalah anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Mereka bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, mengungkap penyimpangan, serta menyuarakan kepentingan publik. Tetapi, apa jadinya jika anjing penjaga itu justru diberi makan oleh orang yang seharusnya diawasi? Maka, alih-alih menggonggong sebagai tanda bahaya, ia justru menggoyang-goyangkan ekornya tanda loyalitas.
Menghadiri pertemuan dengan elite politik dan menerima bingkisan dari mereka adalah tanda bahaya. Tidak ada yang gratis dalam politik, termasuk dalam hubungan dengan media. Sebuah pertemuan bisa menjadi ajang lobi, kompromi, bahkan kooptasi. Lebih berbahaya lagi jika wartawan yang memiliki akses eksklusif ke kekuasaan mulai merasa lebih sebagai bagian dari lingkaran dalam daripada sebagai pemantau independen.
Goodie Bag: Simbol Ketundukan?
Dalam budaya politik dan bisnis, hadiah atau bingkisan sering kali dianggap sebagai tanda penghormatan. Namun, bagi seorang wartawan, menerima goodie bag dari tangan penguasa memiliki makna yang lebih dalam: hilangnya garis batas antara jurnalisme independen dan propaganda terselubung. Ini bukan sekadar soal barang yang diterima, tetapi soal apa yang dikorbankan—integritas, objektivitas, dan kepercayaan publik.
Seorang wartawan yang menerima privilege dari kekuasaan tidak bisa lagi bekerja secara independen. Bahkan tanpa disadari, ia mulai melakukan self-censorship, memilih untuk tidak mengkritik atau menyoroti kebijakan tertentu karena merasa berutang budi atau ingin menjaga akses ke lingkaran elite. Pada akhirnya, media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru berubah menjadi corong kekuasaan.
Menjaga Jarak, Menjaga Integritas
Maka, penting bagi wartawan dan pemimpin redaksi untuk terus menjaga jarak dengan kekuasaan. Jurnalisme sejati harus tetap berdiri di luar sistem, bukan menjadi bagian dari permainan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Wartawan yang benar-benar berintegritas tidak akan tergoda oleh undangan makan malam, perjalanan gratis, atau sekadar goodie bag.
Sebaliknya, mereka akan tetap berada di barisan yang mempertanyakan, mengkritik, dan menelanjangi praktik korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, ketika jurnalisme mulai tunduk pada kepentingan penguasa, maka publik kehilangan suara yang dapat dipercaya. Dan tanpa jurnalisme yang berintegritas, demokrasi hanya menjadi panggung sandiwara tanpa kontrol yang sesungguhnya.
Menjauh dari kekuasaan dan privilege bukan berarti menjadi musuh pemerintah atau elite politik, tetapi justru menjaga profesionalisme dan independensi sebagai pilar demokrasi. Wartawan yang benar-benar memahami tugasnya tidak akan pernah merasa perlu membawa pulang goodie bag dari penguasa—karena bagi mereka, hadiah terbesar adalah kepercayaan publik dan kebenaran yang terus diperjuangkan.