Oleh: Damai Hari Lubis
Rumah seorang hakim terbakar.
Kalimat itu terdengar biasa — sampai kita tahu siapa hakimnya, dan kapan kebakaran itu terjadi.
Adalah Khamozaro Waruwu, hakim Pengadilan Negeri Medan yang tengah menyidangkan perkara korupsi proyek jalan di Sumatera Utara, bernilai ratusan miliar rupiah. Hanya beberapa hari sebelumnya, ia memerintahkan jaksa untuk menghadirkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi dalam sidang tersebut. Tak lama setelah permintaan itu, rumahnya di Kompleks Taman Harapan Indah, Medan Selayang, dilalap api.
Kebetulan yang Terlalu Tepat
Kebakaran memang bisa terjadi kapan saja. Tapi publik Indonesia sudah kenyang dengan “kebetulan” yang muncul di waktu-waktu paling sensitif. Ketika seorang hakim tiba-tiba kehilangan rumahnya tepat setelah menyinggung nama pejabat besar, wajar jika publik tidak percaya lagi pada konsep kebetulan.
Kebakaran rumah hakim Khamozaro terjadi di siang hari, saat ia sedang bertugas di pengadilan. Ruang yang terbakar disebut-sebut merupakan bagian kamar dan ruang kerja pribadi — ruangan yang berisi dokumen-dokumen penting. Petugas pemadam memang berhasil memadamkan api, tapi pertanyaan lebih besar justru mulai berkobar:
apakah ini murni musibah, atau pesan politik yang disampaikan lewat api?
Ketika Nama Bobby Disebut di Ruang Sidang
Dalam sidang perkara korupsi proyek infrastruktur PUPR itu, muncul nama Bobby Nasution, yang disebut memiliki posisi strategis dalam proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Hakim Khamozaro dengan tegas meminta agar jaksa menghadirkan Bobby ke pengadilan. Permintaan ini bukan tuduhan, melainkan bentuk tanggung jawab hukum — karena nama yang disebut dalam perkara publik harus diklarifikasi di depan hukum, bukan hanya di depan kamera.
Namun, di negeri di mana kekuasaan sering kali lebih tinggi dari hukum, tindakan biasa bisa berubah menjadi tindakan “nekat”. Dan keberanian seperti itu, sebagaimana sejarah kita tunjukkan, sering kali dibalas dengan teror, intimidasi, atau bahkan tragedi.
Bayang-Bayang Kekuasaan di Balik Api
Bobby Nasution bukan hanya Gubernur Sumatera Utara. Ia juga menantu Presiden Joko Widodo, bagian dari dinasti politik yang tengah mengakar kuat di republik ini. Ketika namanya disebut dalam konteks hukum, kasusnya otomatis bukan lagi persoalan biasa — melainkan pertaruhan citra dan kekuasaan keluarga istana.
Di titik ini, muncul pertanyaan mendasar:
apakah hukum masih bisa bekerja secara independen ketika pihak yang disentuhnya memiliki koneksi langsung ke pusat kekuasaan nasional?
Kebakaran rumah hakim ini menjadi simbol nyata dari ketegangan antara hukum dan kekuasaan. Ia seperti pesan tak tertulis bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar — bahkan oleh hakim. Api menjadi alat komunikasi paling kuno sekaligus paling efektif: panas, destruktif, dan menakutkan.
Keadilan yang Dikepung Ketakutan
Peristiwa ini juga menggambarkan kondisi mental penegakan hukum di Indonesia: bekerja di bawah bayang ketakutan. Tidak banyak hakim atau jaksa yang berani menembus lapisan kekuasaan. Mereka tahu risikonya — bukan hanya karier yang hancur, tapi juga keselamatan pribadi dan keluarga.
Di banyak negara demokratis, hakim yang berani menegakkan hukum terhadap pejabat tinggi dihormati sebagai pahlawan. Di Indonesia, mereka bisa jadi target. Di negeri ini, keberanian menegakkan hukum justru bisa menjadi alasan untuk disingkirkan.
Kebakaran rumah hakim Khamozaro menjadi cermin buram dari keadaan tersebut. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan masih menjadi tembok penghalang bagi hukum untuk berdiri tegak.
Bobby dan Ujian Integritas
Sebagai pejabat publik, Bobby Nasution seharusnya melihat ini sebagai ujian moral, bukan ancaman politik. Jika ia memang tidak terlibat, menghadiri sidang sebagai saksi justru akan memperkuat kepercayaannya di mata rakyat. Tetapi diam atau menghindar justru akan memperkuat kesan bahwa kekuasaan sedang melindungi diri.
Sebagai pemimpin daerah, Bobby perlu menyadari bahwa hukum bukan panggung untuk mempertontonkan kekuasaan, melainkan ruang bagi rakyat untuk mencari kebenaran. Dan di ruang itu, tak ada satu pun nama yang lebih besar dari hukum.
Namun, sejarah kita jarang mencatat kekuasaan bersedia tunduk secara sukarela. Kekuasaan di negeri ini lebih sering menuntut hormat daripada memberikan teladan. Karena itu, publik layak curiga ketika peristiwa aneh seperti kebakaran rumah hakim terjadi beriringan dengan upaya penegakan hukum terhadap pejabat penting.
Ketika Api Menyala di Jantung Demokrasi
Kebakaran rumah hakim ini bukan hanya peristiwa lokal di Medan. Ia adalah alarm nasional yang menandakan bahwa lembaga peradilan sedang diintimidasi dengan cara halus tapi mematikan. Jika rumah hakim saja bisa dibakar tanpa kejelasan penyebab, maka siapa pun bisa menjadi korban ketika berani menegakkan hukum.
Api itu mungkin sudah padam, tapi bara ketakutan masih menyala di tubuh hukum Indonesia.
Dan di tengah bara itu, publik hanya bisa bertanya:
Apakah ini kebetulan, atau ada tangan-tangan kekuasaan yang bermain?
Penutup: Antara Abu dan Harapan
Keadilan di Indonesia hari ini berdiri di atas dua dunia: antara idealisme hukum dan realitas kekuasaan. Ketika hakim yang jujur harus kehilangan rumah karena menjalankan tugasnya, artinya sistem sedang terbakar — bukan oleh api, tapi oleh ketakutan.
Namun, di balik tragedi itu masih ada harapan. Harapan bahwa publik tidak akan diam. Harapan bahwa kebenaran masih punya tempat di tengah puing. Dan harapan bahwa para penegak hukum yang tersisa akan tetap tegak, meski di sekelilingnya hanya tersisa abu.
Karena kalau hukum padam, maka seluruh bangsa akan hidup dalam gelap.
Dan barangkali — api yang membakar rumah hakim itu bukan untuk memadamkan keadilan, tapi untuk menguji siapa yang masih berani berdiri di tengah nyala.

Oleh: Damai Hari Lubis





















