Fusilatnews – Kita hidup dalam republik yang sedang menyusut secara intelektual dan membengkak secara genetik. Kekuasaan kini bukan hasil olah pikir, tapi olah darah. Jokowi telah mengubah republik ini menjadi semacam laboratorium nepotisme, di mana DNA lebih berharga dari ide, dan silsilah lebih penting dari logika.
Gibran menjelma putra mahkota modern, Bobby Nasution sudah menjadi gubernur Sumatera Utara — bukan sebagai konsekuensi gagasan, tapi sebagai manifestasi rahim kekuasaan. Kaesang, sang pewaris biologis partai, melengkapi trinitas dinasti yang tumbuh bukan di taman demokrasi, tapi di kebun belakang istana.
Di meja makan keluarga, republik ini mungkin dirancang ulang. Di sanalah demokrasi disunat dengan pisau kepentingan keluarga. Rakyat tidak diundang dalam jamuan itu, tapi disuruh menonton dan bertepuk tangan.
Kekuasaan, yang seharusnya berdiri di atas moral dan akal sehat, kini menjadi teater genetik. Kita tak lagi punya kabinet, yang kita punya hanyalah dewan keluarga besar — dengan Jokowi sebagai CEO dinasti Nusantara Inc., dan rakyat sebagai saham minoritas yang tidak punya hak suara.
Lucunya, semua ini disebut demokrasi. Tapi demokrasi tanpa pilihan sejati hanyalah monarki yang malu-malu. Ia hidup dalam kamuflase elektoral, di mana rakyat diajak memilih hasil keputusan yang sudah disepakati di dapur kekuasaan.
Bobby menjadi gubernur bukan karena ide besar, tapi karena ia bagian dari ekosistem politik berdarah. Ia bukan simbol pembangunan, tapi simbol inbreeding kekuasaan — perkawinan silang antara ambisi dan kelicikan.
Kita menyaksikan republik ini berubah menjadi simfoni oligarki keluarga, di mana suara rakyat tenggelam di antara derap langkah dinasti yang sedang menata tahta. Demokrasi kita sedang diracun oleh virus nepotisme, tapi rakyat diberi vaksin berupa slogan-slogan populis.
Inilah tragedi intelektual kita: akal sehat dikorbankan demi kesetiaan keluarga. Negara ini tak lagi dipimpin oleh ide, tapi oleh ikatan rahim yang menuntut hak istimewa.
Maka pertanyaannya kini sederhana tapi fatal: apakah republik ini masih hidup, atau sudah berubah menjadi kerajaan kecil dengan selera demokratis?
Karena yang kita saksikan hari ini bukan republik yang tumbuh, melainkan republik yang dikerdilkan menjadi kartu keluarga.























