Sebelumnya : Bagaimana Aku Bertahan: Menulislah! (1)
Karyaku Direkomendasikan Titie Said
Pipiet Senja
Selama menunggu penerbitan novel perdana itu, aku sempat menjadi pelayan
toko milik perusahaan penerbitannya. Tidak lama hanya sekitar satu bulan. Aku
keburu tak disukai para pelayan lainnya. Habiiis, kerjaku malah asyik baca buku di
gudang. Begitu menerima honornya aku pun hengkang dari sana. Seratus ribu rupiah,
itulah honor terbesar pertama yang pernah aku terima. Suatu jumlah yang sangat
besar untuk ukuran kehidupan keluargaku. Gaji Bapak sebagai seorang Pamen saja
tak sampai seratus ribu rupiah.
“Ini, Pak, ada honor novelku. Kirimkan saja sama En di Yogya,” laporku kepada
Bapak.
Bapak sedang kebingungan menghadapi biaya kuliah En. Untuk beberapa saat
lamanya Bapak hanya terdiam. Tangannya gemetar saat menyentuh seratus ribu
yang aku sodorkan. Ada titik bening di sudut matanya. Aku mengira, mungkin Bapak
tak pernah menyangka kalau putrinya yang penyakitan ini, suatu hari mampu memberi
kontribusi besar dalam keluarganya.
“Sekarang sudah Sabtu,” ucap Bapak masih juga bingung.
“Aku bisa pergi ke sana… itu kalau Bapak izinkan.”
Bapak mengizinkan aku pergi ke kota Gudeg, mengantar uang kuliah buat
adikku En. Itulah perjalanan terjauh pertama yang aku lakoni seorang diri. Sambil
menenteng-nenteng mesin tik, kamera, aku pun naik kereta menuju kota seniman.
Ada beberapa penyair muda dan pelukis yang aku kenal lewat koresspondensi di kota
ini. Aku pikir bisa sowan ke sanggar mereka.
Akhir tahun 1978, kami mendapat telepon dari adikku En. Dia menyatakan tak
sanggup lagi melanjutkan kuliahnya. Agaknya dia sudah tak tahan lagi dengan
kehidupan serba pas-pasan, kiriman selalu telat, kesendirian di kota pelajar, sakit
maag-nya yang kronis dan bla, bla…
Sementara itu aku mendapati Mak terlilit utang kepada rentenir. Mak sampai
dirawat di rumah sakit saking stresnya. Bagaimana tidak stres, lah wong si Batak itu
sampai menggebrak-gebrak meja, bawa-bawa debtcolector bergajulan!
“Pokoknya kalau tak dibayar, awaaas! Kami akan angkut barang-barang yang
ada di rumah ini!” ancam Tante Gurning dengan rahangnya yang kuat, matanya yang
keras dan keji itu.
Cuma aku yang berani menghadapinya. Adik-adik ngumpet di balik pintu.
Hatiku amat miris rasanya. Sementara Bapak di Jakarta lagi sibuk ikut aksi OPSTIB.
Suatu operasi nemberantas perjudian, pelacuran, bank gelap, termasuk lintah darat.
Keluarganya sendiri habis-habisan dicengkeram para rentenir Cimahi. Sungguh ironis!
“Emih, aku mau ke Jakarta. Tolong awasi adik-adik di sini, ya?” pintaku kepada
Emih yang sudah semakin renta dan mulai sering sakit.
“Pergilah, tapi jaga kesehatanmu dan jangan lama-lama, ya,” pintanya lemah.
Di rumah kontrakan di Utan Kayu, aku menemukan En bersama Bapak. Kami
bertiga serius membicarakan kemelut yang membelit keluarga.
“Duh Gusti Allah… Kenapa selalu berkisar di antara penyakit, utang dan
penderitaan?” erangku dalam hati.
“Aku mau melamar kerja. Mau bantu ekonomi keluarga kita!” cetus adikku En,
terdengar gagah sekali.
“Aku juga insya Allah. Mau berusaha cari uang dengan menjajakan naskah-
naskah ini ke redaksi,” ujarku pula lebih dari sebagai ungkapan penghiburan kepada
Bapak.
Jujur saja, rasa takut dan was-was kalau Bapak marah kepada Mak menyergap
hatiku. Bapak sempat menyatakan kekecewaannya akan sikap Mak yang telah
bertindak tanpa sepengetahuannya. Kami, aku dan adikku En berhasil meredam
kemarahannya dengan rasa optimis, kesanggupan untuk ikut membantu.
“Sudahlah, sekarang lebih baik kita shalat berjamaah,” ajak Bapak.
Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Rumah berlantai tanah, berdinding gedek itu
pun dalam sekejap kebocoran, keanginan. Dalam hitungan menit air mulai merembes
dari celah-celah pintu.
Namun, kami tetap bersimpuh di belakang Bapak. Kami sama bershalawat dan
berzikir, memusatkan segenap rasa dan pikiran kepada Sang Maha Pemurah.
“Ya Allah, ampunilah segala dosa kami…”
“Ya Allah, bukakanlah rezeki yang halal kepada kami….”
“Ya Allah, angkatlah segala derita nestapa ini dari keluarga kami…”
Aku dan Enny tidur di bangku kayu yang keras dan membeku. Sementara
Bapak tidur di atas pelbed inventarisnya. Subuhnya, kami kembali shalat berjamaah.
Berdoa bersama.
“Ini ongkos kalian nanti. Bapak harus pergi sekarang,” ujar Bapak sebelum
berangkat pada pukul setengah enam. Tentu saja harus begitu, untuk mengejar mobil
jemputan biar gratisan.
Aku dan En mencium tangan Bapak takzim, memohon doa dan restunya. Aku
sempat melihat wajah tegar itu melembut. Seperti berusaha keras menahan kepiluan
hatinya. Ada harapan besar yang diserahkannya kepada kami. Sepasang matanya
seakan-akan berkata, “Kalian, Srikandi-Srikandi keluarga ….”
Duuuh, Gusti!
“Kasihan sekali Bapak, ya?” cetus En seraya memupus sudut-sudut matanya.
Aku terdiam. Berusaha keras menyembunyikan air mata yang hampir jebol.
Dunia untuk sesaat serasa bagai akan tumplek blek ke atas kepala. Ke mana harus
mencari uang sebanyak-banyaknya, minimal buat membayar utang kepada rentenir?
“Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak adikku En.
“Ke mana tujuannmu, En?” tanyaku ingin tahu.
“Ke rumah seorang teman lama. Dia anak orang kaya. Keluarganya punya
perusahaan besar di Jakarta. Aku mau minta tolong, biar dia mencarikan kerja
untukku,” katanya dalam nada optimis.
“Syukurlah. Teteh doakan, biar kamu sukses.”
Kami berjalan menyusuri gang becek di kawasan kumuh kontrakan Bapak. Aku
tak bisa membayangkan, bagaimana Bapak kesepian, sengsara seorang diri di gubuk
reyot itu? Sementara keluarganya di Cimahi tinggal di rumah yang nyaman, lumayan
besar dan kukuh. Betapa besar pengorbanan dan pengabdian Bapak demi
kebahagiaan keluarganya.
Ah, Bapak, seorang perwira menengah berpangkat Kapten. Sesungguhnya
kalau egois, Bapak amat tak pantas tinggal di tempat sekumuh itu. Bapak berhak
mendapatkan yang lebih baik!
Ya Allah, prajurit kami yang tegar!
“Rasanya Teteh mau memberi apa saja buat Bapak kalau punya,” kesahku.
Tak urung menitik juga air mata dari sudut-sudut mataku.
“Makanya jadilah orang kaya!”
“Ah, kamu….”
“Jadilah istri konglomerat!”
“Ah, sudahlah. Mata duitan juga jadinya kamu!”
“Hidup memang butuh duit, Teteh. Gak ada yang gratis dalam hidup ini!”
Aku memandangi wajahnya yang ayu. Apa yang terjadi dengan dirinya selama
hidup berpisah dari keluarga? Kota Yogyakarta, selain terkenal sebagai kota pelajar
juga dikenal sebagai kota kumpul kebo. Begitu yang aku baca di koran-koran. Duuuh!
Kami berpisah di jalan Kayu Manis. Aku menuju redaksi majalah Puteri di jalan
Garuda. Ada honor beberapa cerpenku yang belum mereka kirim. Aku sadar, itu sama
sekali takkan mencukupi kebutuhan yang sedang menunggu ddi Cimahi. Makanya,
aku membawa beberapa novel. Aku sudah nekad menggedor redaksi, kalau perlu
menghadap langsung ke pemimpin redaksinya!
“Hei, Pipiet Senja! Sendirian nih?” Mas Tjahyono menyambut kemunculanku
dengan ramah.
Sebelumnya kami hanya kenal lewat surat. Biasanya dia akan melampirkan
komentar atas cerpen atau puisiku selain kiriman honornya. Kami berbincang
sebentar, menceritakan tentang kesulitanku. Aku bilang, butuh uang banyak buat
bayar utang kepada rentenir, bekas biaya perawatanku tempo hari. Dia tampaknya
terkesan dan bersimpati sekali atas keadaanku. Dia kemudian mengenalkan aku
dengan Mbak Titie Said Sadikun.
“Ya, ya, aku sudah kenal karya-karyamu,” sambut Mbak Titie Said ramah
sekali, khas seorang wanita Jawa. “Aku dengar, kamu menderita penyakit kelainan
darah, ya? Bagaimana kalau aku mewawancaraimu, bersediakah?”
Untuk beberapa saat aku terdiam dan menunduk. Mataku menatap kaki-kaki
yang tampak membengkak. Aku tak tahu, entah bagaimana tampangku saat ini.
Hampir tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Pasti pucat seperti mayat.
Buktinya, Mbak Titie Said terus saja memandangi wajahku lurus-lurus.
“Bagaimana, Jeng? Mau kan diwawancarai sama Mbak Tie?” usiknya
terdengar lebih santun, sarat dengan simpati.
Melihat keramahan, kesantunan dan rasa keibuannya yang tinggi itu, siapa sih
yang tidak luruh? Lagian, kapan lagi bisa nampang di majalah Kartini yang bertiras
tinggi? Kisahku bisa saja menyebar ke seluruh pelosok tanah air, mungkin juga ke
mancanegara. “Baiklah, Mbak Tie!”
Selesai sudah aku diwawancarai dan jeprat-jepret diambil gambar segala.
Kemudian aku diajak Mbak Titie menemui Pak Lukman Umar, Dirut Kartini Group.
Beliau pun bersimpati atas keadaanku, lantas menanyakan berapa yang aku
butuhkan.
“Aku bawa naskah novel dan beberapa cerpen ini. Terserah Bapak, berapa
mau dikasih honornaya,” kataku polos. Tanpa banyak bicara lagi, pria baik hati itu
pun menuliskan rekomondasinya di atas secarik memo. Aku kemudian pergi ke
bagian keuangan. Dua ratus lima puluh ribu,ya Tuhan, subhanallah!
Mbak Titie Said bahkan mengantarkan aku sampai ke pintu gerbang. Meminta
sopir pribadinya agar mengantar aku pulang. Aku tepekur cukup lama,
menggumamkan zikrullah.“Allah itu Maha Pemurah. Begitu kasih kepada diriku yang
lemah ini. Ya Allah…”
Sepanjang jalan di dalam mobil Corolla ber-AC dengan sopir yang sangat
santun dan loyal itu, hatiku dipenuhi rasa syukur. Detik ini untuk kesekian kalinya aku
menikmati karunia-Nya. Nikmat-Nya yang tak terduga-duga!
“Berapa? Seperempat juta?” seru adikku En ketika menyambut kepulanganku.
“Gaji Bapak saja hanya enam puluh ribuan…” Aku menceritakan pengalaman hari itu.
Sebuah pengalaman istimewa yang menambah keyakinan, keimananku kepada
Sang Maha Pengasih.
“Mau diapakan uang sebanyak ini, Teteh?” tanya Bapak saat aku melaporkan
hasil perjalananku.
“Terserah Bapak. Kalau bisa, aku mau pulang sore ini juga. Kasihan adik-adik,
takut kelaparan ….”
“Ya, sudah Bapak pinjam dulu buat bayar utang-utang kita. Tapi sebagian
buatmu, biaya transfusi bulan depan.” Di kupingku, entah mengapa, suara Bapak
terdengar bergetar hebat.
“Ah, gak perlu, Pak. Aku gak merasa sakit kok. Ngapain ditransfusi segala,”
tolakku meyakinkannya.
“Eh, bukankah kamu mau les Inggris?”
“Lain kali sajalah, Pak. Oya, buat aku masih ada kok. Dari honor cerpen.”
Petang itu juga aku kembali ke Cimahi. Bapak tak bisa mencegah, mengingat
alasanku kuat dan masuk akal. Khawatir Mak semakin parah karena butuh beli obat,
adik-adik juga tak punya makanan.
Sepanjang perjalanan aku merasakan kesakitan luar biasa pada bagian kiri
perut. Ya, limpaku ngamuk rupanya. Aku meringkuk di sudut bangku panjang, sambil
merasa kesakitan tak teperi. Aku cuma bisa meneteskan air mata, berzikir terus,
pasrah, tawakal, dan berserah diri kepada Sang Pencipta. Aku pikir, kalaupun
memang harus pergi juga saat. “Ya Allah, tolong jangan biarkan bibir ini jauh dari
asma-Mu, kumohon kemurahan-Mu,” erangku hanya di dalam hati.
Aku sampai juga dengan selamat sekitar pukul setengah sebelas malam,
langsung diserbu dan dielu-elukan adik-adik. Aku tertegun-tegun. Wajah-wajah yang
sarat pengharapan, tangan-tangan yang segera sibuk membongkar oleh-oleh,
sungguh telah memulihkan enerjiku yang terkuras. Begitu memandangi wajah-wajah
menghargai, menghormati, dan menyayangi itu, sirnalah segala kesengsaraan!
Aku menghampiri Emih di kamarnya. Nenekku tercinta itu masih berbaringan.
Adikku Ed bilang, kepingin menunggu kepulanganku.“Nuhun, Alhamdulillah. Teteh
selamat, ya Neng?” sambut Emih seraya memandangi wajahku lekat-lekat.
Aku meraih tangannya yang keriput, lalu memasukkan sebuah cincin emas ke
jari manisnya. Aku pernah berjanji membelikan Emih cincin emas. Penyesalan
terbesarku, kepada Eni Sumedang aku tak pernah punya kesempatan berbagi
kebahagiaan. Karena Eni telah tiada pada tahun 1970, masa-masa yang sangat sulit
bagi keluargaku. Kami tak bisa takziah saat Eni berpulang ke Rahmatullah kala itu.
“Euleuh-euleuh… bagus sekali cincin ini, ya, terima kasih, Teteh.” Aku
tinggalkan nenek tersayang mengagumi cincinnya. Bagai seorang anak kecil asyik
dengan mainan barunya. Kemudian aku masuk ke kamar, menguncinya dari dalam
dan ambruk dan semaput!
Saat ini aku sudah terbiasa menyembunyikan rasa sakit dan derita akibat
kekurangan darah. Transfusi yang sengaja diulur-ulur, karena uangnya berebutan
dengan kebutuhan lain. Aku acapkali punya cara tersendiri untuk sekadar
menghilangkan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhku. Caranya dengan
mensugesti diri; aku sehat wal afiat!
Acapkali pula aku meminta air putih dari Emih, Bapak dan Mak. Mohon doa
restu mereka untuk kesehatanku. Mak sering sekali meletakkan air putih di
sejadahnya. Sambil membacakan surat Yassin berulang-ulang, Mak akan memegangi
gelas. “Minumlah air doa ini,” katanya selalu. “Usapkan juga ke bagian limpamu yang
sakit.”
Aku akan mematuhinya. Aku punya keyakinan. Doa seorang ibu sangatlah
manjur dan akan dimakbulkan oleh Allah Swt. Bapak lain lagi caranya meringankan
rasa sakit putrinya. Dia akan mewiridkan Asma ul Husna sebanyak-banyaknya.
Mengkhususkannya untuk yang terasa sakit.
Kemudian telapak tangannya akan diletakkan di bagian perut yang sakit.
Hingga tangan dan sekujur tubuhnya tampak gemetar hebat. Ya, begitulah
pengenalan pertama dengan hal yang bersifat di luar medis. Kekuatan Sang Maha
Pengasih. Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar adikku En diterima kerja di
sebuah perusahaan biro perjalanan.