Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Langkah Presiden Prabowo Subianto tampak berat ketika berhadapan dengan isu hukum yang menyeret proyek Whoosh—kereta cepat Jakarta-Bandung yang digagas era Jokowi. Di satu sisi, publik menuntut penegakan hukum yang tegas dan transparan. Namun di sisi lain, bayang-bayang kedekatan politik Prabowo dengan dua tokoh sentral proyek ini, Jokowi dan Luhut Binsar Pandjaitan, membuat setiap keputusan yang diambilnya serba berisiko.
Dalam konteks ini, law behavior atau perilaku taat hukum di tubuh penegak hukum menjadi kunci. Tapi kepatuhan hukum itu sendiri akan mandek jika reformasi di tubuh Polri tidak segera dilakukan oleh Presiden secara langsung. Reformasi yang dimaksud bukan sekadar pergantian jabatan atau reposisi struktural, melainkan pembenahan substansial yang menyentuh jantung persoalan—integritas, profesionalitas, dan independensi aparat. Tanpa itu, sistem hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan pengawal keadilan.
Namun, sinyal batalnya pembentukan tim reformasi Polri yang sempat diwacanakan Prabowo menimbulkan pertanyaan publik: apakah ada pihak yang dengan sengaja mengobstruksi langkah presiden? Aroma penyanderaan politik tercium samar—seolah reformasi Polri disandera oleh kekuatan tak kasatmata, entah dari lingkaran lama kekuasaan atau dari kepentingan yang tak ingin terusik.
Jika demikian adanya, maka posisi Prabowo ibarat presiden yang berkuasa tapi tak sepenuhnya powerful. Ia berada di puncak piramida kekuasaan, namun sebagian instrumen kekuasaan belum benar-benar dalam genggamannya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan efek domino negatif. Pertama, efek jera terhadap pelaku korupsi menjadi lemah. Kedua, proses penyelesaian hukum, terutama dalam kasus-kasus besar seperti dugaan korupsi proyek Whoosh yang menimbulkan kerugian negara fantastis, bisa tersendat.
Dari kacamata sosiologi hukum, perilaku hukum aparat negara sangat dipengaruhi oleh pola kendali pemerintahan terhadap struktur kekuasaan di bawahnya. Pemerintah yang tegas dan berani akan menciptakan efek sosial yang menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hukum. Sebaliknya, jika pengendalian sosial bersifat kompromistis karena pertimbangan politik, maka yang lahir adalah stagnasi penegakan hukum dan tumbuhnya ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem.
Kasus Whoosh kini menjadi batu ujian pertama bagi Prabowo. Apakah ia akan mampu menunjukkan bahwa pemerintahannya berbeda dari pendahulunya—bahwa hukum benar-benar bisa tegak tanpa pandang bulu? Ataukah ia justru terseret dalam arus kompromi politik yang membungkam keadilan?
Rakyat menunggu langkah konkret. Sebab Whoosh bukan sekadar proyek transportasi cepat; ia adalah simbol dari betapa cepatnya uang negara bisa “meluncur” tanpa kendali jika hukum tak lagi menjadi rem bagi kekuasaan.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat Presiden Prabowo menemukan jurus politik hukum yang tepat—jurus yang mampu menyingkirkan para penyandera reformasi, mematahkan segala bentuk intervensi, dan mengembalikan kepercayaan rakyat lintas suku, agama, dan golongan bahwa negeri ini masih bisa diselamatkan lewat keadilan yang benar-benar berdiri di atas hukum, bukan di bawah kekuasaan.

Oleh Damai Hari Lubis





















