Perkembangan teknologi seharusnya mendorong kemajuan dalam berbagai sektor, termasuk sistem pembayaran. Namun, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menegaskan kewajiban pedagang untuk menerima uang tunai justru menunjukkan langkah yang seolah tidak sejalan dengan tren global. Dalam era di mana pembayaran digital semakin dominan, aturan ini tampak seperti kebijakan yang kaku dan terkesan primitif dibandingkan dengan negara-negara maju yang terus memperbarui regulasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagai contoh, ketika kapal pesiar tenggelam di Jepang beberapa waktu lalu dan menyebabkan puluhan korban jiwa, pemerintah Jepang segera merespons dengan evaluasi dan pembaruan peraturan keamanan berlayar. Ini mencerminkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap situasi yang berubah, sebuah sikap yang patut dicontoh oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia. Regulasi harus mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan teknologi yang terus berkembang, bukan hanya terjebak dalam aturan yang usang.
Sebaliknya, Bank Indonesia justru mempertegas aturan yang mewajibkan pedagang menerima uang tunai, merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 23 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menolak pembayaran dalam bentuk rupiah. Meskipun undang-undang ini ditetapkan untuk menjaga kedaulatan rupiah sebagai mata uang sah, penerapannya di tengah meningkatnya adopsi pembayaran digital terkesan kontradiktif.
Digitalisasi telah mengubah perilaku masyarakat dalam bertransaksi. Data menunjukkan bahwa transaksi menggunakan QRIS, sebagai salah satu bentuk pembayaran digital, melonjak hingga 209,61 persen secara tahunan pada triwulan III-2024, mencapai lebih dari 4 miliar transaksi. Pertumbuhan ini mencerminkan minat masyarakat yang besar terhadap efisiensi dan kemudahan pembayaran digital. Namun, BI tetap berkeras bahwa uang fisik harus tetap diterima sebagai alat pembayaran, bahkan menegaskan bahwa produksi uang tunai terus berlanjut dengan pertumbuhan sekitar 6-7 persen per tahun.
Kebijakan ini menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Sementara negara-negara maju berfokus pada inovasi dan pembaruan regulasi yang relevan, Indonesia terkesan terjebak dalam paradigma lama. Alih-alih merumuskan kebijakan yang mendorong transisi ke sistem yang lebih modern dan efisien, BI justru tampak mempertahankan sistem yang mulai ditinggalkan.
Padahal, adopsi pembayaran digital bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga membawa banyak manfaat, seperti transparansi, efisiensi, dan keamanan. Dengan menolak mengikuti tren ini, BI berpotensi menghambat laju perkembangan ekonomi digital Indonesia. Kebijakan yang seharusnya progresif malah terlihat kaku dan bertentangan dengan semangat inovasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global.
Di era di mana dunia bergerak semakin cepat menuju digitalisasi, kebijakan BI yang mewajibkan penerimaan uang tunai bisa dibilang sebagai langkah mundur. Bukannya mengikuti jejak negara-negara maju yang terus memperbarui aturan sesuai perkembangan zaman, Indonesia justru seolah berpegang teguh pada aturan lama yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Kesimpulannya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ini menimbulkan pertanyaan tentang arah kebijakan publik Indonesia di masa depan. Apakah kita akan terus terjebak dalam kebijakan-kebijakan yang tidak fleksibel, atau justru mampu berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman? Di sinilah pentingnya reformasi regulasi yang mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat modern tanpa melupakan prinsip-prinsip dasar yang mendukung keberlanjutan ekonomi negara.